Marjono. (BP/Istimewa)

Oleh Marjono

Praktik korupsi tak pernah mengenal jenis kelamin. Laki-laki atau perempuan semua bisa menjadi pelaku korupsi, menjadi korban korupsi, atau bergerak sebagai aktivis antikorupsi. Siapa tak mengenal Nurhayati? Perempuan sederhana salah satu desa di Indonesia.

Naluri keperempuannya tak bisa tinggal diam dan melaporkannya ke BPD setempat tatkala ia mengetahui secara langsung praktik korupsi APBDesa tahun 2018-2020 yang mencapai tak kurang Rp 800 juta dengan aktor atasannya, Supriyadi, Sang Kuwu Desa Citemu, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Kerajaan laki-laki Supriyadi ternyata runtuh, ia bukan manusia super, praktik kusamnya terhenti di tangan perempuan Nurhayati, sang bendahara
desa tempat mengais rejeki. Perkara hukum Korupsi Kepala Desa (Kades) terus berjalan, dan
Nurhayati yang sebelumnya sempat ditetapkan menjadi tersangka berujung bebas paska munculnya diskresi sejumlah orang penting di negeri ini.

Nurhayati seorang whistleblower (pengungkap fakta) kasus dugaan korupsi di desanya, Ia sebagai pelapor yang hak-haknya dijamin, salah satunya mendapat proteksi dalam aspek luas. Jejak langkah Nurhayati tentu saja menyulut sikap senang dan tak senang. Bagi loyalis Kades Citemu, tentu saja bekeras menyalahkan sepak terjang sang bendahara desa tersebut yang dinilai membuat malu, mencemarkan nama baik, sok pahlawan, sok bersih, hanya mencari kesalahan orang lain dan tak penah bisa menerjemahkan politik van deventer, yakni politik balas budi.

Baca juga:  Transportasi Daring, Menunggu Regulasi Bijak

Namun sebaliknya, bagi kalangan yang pro, mereka bergembira atas ketegasan dan keberanian Nurhayati dengan terus memberikan dukungan moral dari sejumlah elemen masyarakat di negeri ini. Perempuan itu tidak lemah seperti orang pikirkan.

Menengok ke belakang, bisa jadi praktik korupsi di Desa Citemu, mungkin pak Kades overload melihat praktik korupsi di berbagai tayangan media. Ada Menteri, Politisi, ASN, Aparat penegak hukum, Pengusaha, dosen, guru, Kepala Daerah bahkan kawan-kawan Kades lain hingga para perangkat desa yang acap disebut-sebut sebagai pamong.

Ia mungkin saja salah atau lupa meredifinisi tentang pamong desa. Berbagai upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi terus digeber, mulai sosialisasi, workshop, seminar, simulasi, konser music, buku, film, baliho, spanduk berjejalan bahkan menjadi langit visual yang diamini rakyat.

Baca juga:  Koster Siapkan Pendidikan Antikorupsi Berbasis Kearifan Lokal Bali

Materi pendidikan anti korupsi di sekolah terus digencarkan, bahkan belakangan kampus
diminta Menyusun kurikulum Pendidikan anti korupsi di kampus-kampus. Itu semua hanya satu tujuan untuk menekan angka korupsi yang kian masif. Anehnya, pelaku korupsi di negeri ini justru datang dari tamatan perguruan tinggi yang ecekecek hingga terkenal yang nota bene mereka cukup terpelajar, well educated.

Transformasi Sosiokultur

Beberapa hal bisa ditempuh, pertama menghapus budaya pekewuh. Terhadap orang yang
menjabat tertentu dan melakukan korupsi dan orang tersebut pernah membantu, berjasa dalam kehidupan pribadi maupun desa secara makro, maka sebagian orang tak sampai hati atau pekewuh (memilih menyembunyikan) untuk mengingatkan, menegur atau melaporkan, tapi tindakan demikian justru menyuburkan praktik busuk ini.

Kedua, menggeser orientasi harta dan tahta yang masih menguat dalam dada masyarakat atau pejabat menjadi konsentrasi layanan dan integritas. Ketiga, menghapus jalur keluarga maupun tim sukses Kades. Artinya bekerja profesional tanpa menyelinapkan tautan intimitas tersebut, meskipun staf atau bawahannya itu masih famili atau punya hubungan darah dan relasi lainnya dengan penguasa desa.

Baca juga:  Hancurkan Cita-cita Bangsa, Bupati Suwirta Ajak Seluruh Lapisan Perangi Korupsi

Keempat, lewat jalur edukasi kepada masyarakat. Artinya, laporan serupa Nurhayati menjadi bagian upaya kita mengedukasi anak-anak dan kaum muda kita untuk tegak berintegritas.
Di luar itu, strategi kelima, yakni menepiskan budaya patriarkhi. Saatnya memosisikan perempuan menjadi ordinat, laki-laki dan perempuan punya peran setara, penting membawa pembangunan yang ramah perempuan, bukan meremehkan perempuan.

Soalan korupsi tidak saja menjadi persoalan hukum, melainkan juga merupakan persoalan
mentalitas kebudayaan. Pendeknya, orang yang sangat mengerti dan paham tentang hukum pun dapat terjerat kasus korupsi, apalagi yang lain. (Kompas, 2/3/2022),
Nilai etos dan etik menjelma dalam kerja-kerja Nurhayati di Kantor desa dan perilaku hariannya. Nurhayati telah meneguhkan dirinya menjadi kader SPAK (saya perempuan antikorupsi). Kita ingin memastikan ke depan tak sedikit follower milenial dan perempuan kita berani menyuarakan aneka praktik penyimpangan di lingkungannya.

Penulis Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *