I Gusti Ketut Widana. (BP/Istimewa)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Ketika kecil sampai remaja sosok ini disebut gadis. Tatkala mulai dan sukses berkarya, lumrah disebut wanita karier.

Saat bersuami disebut istri, dan manakala sudah beranak-pinak disebut ibu. Baru ketika sudah bercucu disebut nenek, di Bali banyak sebutannya, bisa dadong, mbah, nini atau niang.

Sosok ini satu adanya tetapi sebutannya bisa berubah dan berbeda tergantung status dan fungsinya. Di antara sebutan itu, nama ibu tampak jauh lebih mulia
dan nyaris sempurna.

Karena begitu disebut ibu, lintasan perjalanan hidupnya, tentunya melalui perkawinan bersama sang bapak sudah mencapai tingkatan Grehasta (berumah tangga), ujung tahapan kehidupan yang berhubungan dengan urusan materi-duniawi.

Menyambut peringatan Hari Ibu 22 Desember tahun ini, sekadar mengingatkan, ternyata disadari ataupun tidak, sejak dulu melekat label ambigu pada sosok ibu. Di satu sisi sosok ibu begitu diagungkan/dimuliakan, semisal dalam contoh nama ibu dilekatkan dalam kata “Ibu Kota”, tidak pernah dikenal sebutan “Bapak Kota”.

Ketika berbicara sejarah masa lalu pun selalu muncul istilah “Nenek Moyang”, bukan “Kakek Moyang”. Bahkan dalam data perseorangan di bank, nama orangtua yang diminta untuk dicantumkan adalah nama ibu, bukan bapak.

Baca juga:  Tumpek Wariga: Wareg dan Waras

Lebih-lebih di dalam Hindu, keberadaan sosok ibu begitu dimuliakan, disebut sebagai “Ibu Suci”, lantaran ruang geraknya nyaris tak pernah lepas dari urusan upacara yadnya. Bahkan di dalam kitab Manawa Dharmasastra, III. 58 dengan jelas, lugas dan tegas dinyatakan; “Dimana wanita (ibu) dihormati di sanalah para Dewa senang dan melimpahkan anugerahnya. Dimana wanita (ibu) tidak dihormati tidak ada upacara suci apapun yang memberikan pahala mulia”. Tugas dan kewajiban seorang ibu pun dinyatakan sangat berat, jauh melebihi beratnya bumi (Sarasamuscaya, 240).

Ini tak dapat disangkal, mulai dari kodrat mengandung dan melahirkan, rutinitas pekerjaan domestik mengurus/merawat anak, melayani suami plus mengambil tugas-tugas sosial keagamaan lainnya yang tak kalah menyita waktu, menguras tenaga bahkan kadang memusingkan pikiran. Belum lagi di era emansipasi sekarang ini, seorang ibu (istri) turut juga menjadi pencari nafkah, apalagi jika suaminya pengangguran.

Wanita atau seorang ibu berkarier disebut brahma vadini, bisa sebagai ilmuwan, politisi, birokrasi, kemiliteran maupun berkarier dalam bidang bisnis, dll. Semuanya itu mulia dan tidak terlarang bagi wanita/ibu, meski dalam realita empiris konsepsi normatif tersebut belum terlaksana sebagaimana
mestinya.

Baca juga:  Politik Dinasti, Demokrasi atau Supremasi

Begitu besar dan beratnya tugas dan kewajiban seorang ibu, tak heran jika semua agama mengajarkan kepada umatnya untuk selalu bakti pada ibu. Bahkan dengan tegas dinyatakan, surga itu ada di telapak kaki ibu, bukan bapak.

Di balik keagungan dan kemuliaan citra sosok ibu
dalam sisi positif, ternyata tak dapat dimungkiri
muncul juga sebutan lain mengarah stigma negatif.
Katakanlah dalam contoh ungkapan “kejamnya ibu
kota, lebih kejam ibu tiri”, padahal tidak semua ibu
tiri itu sadis, malah tak jarang ada juga ibu kandung bertindak bengis hingga menghabisi darah
dagingnya sendiri.

Di Bali sendiri, dikenal ungkapan yang seolah secara permanen menstigmakan sosok wanita (anak luh, termasuk ibu) dalam citra negatif bahkan cenderung buruk lewat ungkapan “Jelekan teken anak luh” (lebih jelek dari wanita).

Misalnya, ketika ada seorang pria suka sekali bicara (cerewet), apalagi diramu bumbu isu dan gosip, serta merta muncul ungkapan dimaksud tertuju padanya. Lucunya ungkapan itu acapkali dilontarkan sendiri oleh kaum wanita (ibu), seakan membenarkan atau mengakui dirinya memang begitu kejelekannya — anak mule keto jelekne.

Baca juga:  Pelaku UMKM Didominasi Perempuan

Tentu ungkapan bernada stigma negatif itu tidak boleh membuat kaum wanita (ibu) tersinggung, cukuplah tersungging saja dengan senyum dikulum, karena begitulah kosa kata itu muncul sebagai representasi realita pergaulan hidup di tengah kehidupan yang tak pernah lepas dari ambiguitas — serba mendua (rwa bhineda).

Ibarat dua sisi mata uang, sesuatu yang positif selalu
bergandengan dengan hal negatif. Istilah “jeleme”
pun sebenarnya berasal dari paduan kata “jele”
(buruk/negatif) dan “melah” (baik/positif), yang memang menjadi bagian ambiguitas sosok manusia.
Persoalannya, apalagi di saat peringatan Hari Ibu kali ini, khusus untuk ambiguitas sosok ibu sejatinya hendak mengingatkan bahwa di balik sebutan positif dalam frame citra agung, mulia dan terhormat, terselip juga stigma negatif yang bukannya direkayasa tetapi memang sudah demikian kodratnya.

Menjadi kewajiban para ibu, tentunya didukung kaum bapak dan juga anak cucu untuk tetap menempatkannya sebagai sosok panutan/teladan abadi.

Penulis, Dosen UNHI, dan Alumni UHN IGB Sugriwa Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *