Dewa Gde Satrya. (BP/Istimewa)

Oleh Dewa Gde Satrya

Predikat Indonesia sebagai negara paling santai di dunia menurut lastminute.com menggembirakan, meski dalam kondisi saat ini tidak dapat dilihat dampak langsung pada kunjungan wisatawan mancanegara. Selama pandemi ini, performa kepariwisataan nasional secara umum sangat terdampak buruk.

Pada triwulan II 2020 lalu, pertumbuhan PDB menurut lapangan usaha sebesar -4,19%. Secara khusus, perekonomian Bali yang sebagian besar berasal dari sektor pariwisata, menurun signifikan minus 9,31%, berdampak langsung pada PHK sebanyak 3.000 orang dan sejumlah 75.100 orang dirumahkan.

Penderitaan ekonomi tak terkira pada hilangnya lapangan pekerjaan pada mata rantai pariwisata: guide, sopir, petani, UMKM, hotel, resto, tour and travel. Karena itu, predikat sebagai destinasi paling santai di dunia, yang nyaman untuk berlibur dan rekreasi, menjadi momentum untuk memperkuat implementasi CHSE (clean, health, safety and environment) di setiap mata rantai industri
pariwisata.

Lebih-lebih, ketika saat ini sepertinya angka penularan Covid-19 di beberapa daerah telah menurun, masyarakat mulai merasa bebas, pengelola destinasi wisata, akomodasi dan jasa pariwisata lainnya mulai kendor dalam menerapkan protokol kesehatan (prokes). Di ranah inilah relevansi semangat Menteri Pariwisata, Sandiaga Uno, yang mengobarkan spirit adaptif, inovatif dan kolaboratif.

Baca juga:  Bali Tanpa PHR

Spirit adaptasi hidup berdampingan dengan Covid-19
diterjemahkan dalam penerapan CHSE di semua lini industri pariwisata. Perjalanan wisatawan domestik diharapkan menyelamatkan Indonesia dari ancaman resesi, tentu dalam konteks setelah masa pandemi, ketika Covid-19 menjadi endemi dan diizinkan pemerintah untuk melakukan mobilitas atau perjalanan.

Di samping itu, kedisiplinan dalam menjalankan prokes dalam aktivitas wisata dan kehidupan sehari-hari juga menjadi tanggung jawab semua pihak, setiap
warga negara. Di sinilah pentingnya menjalankan kepariwisataan secara bertanggung jawab.

Penulis dan sejarawan, Yuval Noah Harari, dalam artikelnya di Financial Times (20/3) menuliskan tentang dunia setelah wabah Covid-19. Dalam artikel tersebut professor sejarah yang mengarang buku Sapiens, Homo Deus dan 21 Lessons for 21st Century itu menyatakan bahwa badai Covid-19 ini akan berlalu, dan setelah itu kita akan memasuki dunia yang baru.

Baca juga:  Pariwisata Bali di Persimpangan Jalan

Kepariwisataan yang bertanggung jawab telah bertransformasi dari isu budaya dan lingkungan yang merupakan dominasi pembicaraan yang sangat intens di kalangan wisatawan selama sebelum pandemi COVID-19, menjadi terpenuhi prokes dalam
mengembangkan wisata budaya dan
lingkungan.

Disebutkan wisatawan rela membayar lebih mahal 10-50% untuk liburan terkait pelestarian budaya dan lingkungan (PATA, 29 Mei 2007). Tak hanya itu, isu budaya telah merasuki industri pariwisata Eropa yang
dirintis oleh The Association of Independent Tour
Operators (AITO), yang merumuskan lima tanggung jawab yang diemban oleh para anggotanya.

Pertama, melindungi lingkungan hidup (flora, fauna dan landscapes). Kedua, menghormati kebudayaan lokal (tradisi, religi dan bangunan bersejarah). Ketiga, memberikan keuntungan pada masyarakat lokal. Keempat, konservasi sumber daya alam. Kelima, meminimalkan polusi (suara, air dan udara).

Ketegasan dalam penerapan CHSE menjadi adaptasi kebiasaan baru ketika durasi waktu perjalanan lebih pendek (3-5 hari), short haul trip dan tipe perjalanan menjadi lebih individual dan skala kecil, seperti staycation, family group, solo traveler, FIT (Free Individual Travelers). Kolaborasi ketegasan dalam penerapan CHSE dan penerapan new protocol Covid-19 di industri pariwisata dan perhotelan, seperti face
mask policy, covid cards sebagai bukti bebas Covid-19, contactless, serta distancing service policy,
akan memulihkan sektor pariwisata nasional.

Baca juga:  Rentan Terhadap Beragam Isu, Pariwisata Bali Harus Berbenah

Pada akhirnya, komunikasi dan koordinasi di setiap mata rantai industri pariwisata menjadi kunci penerapan CHSE yang pada akhirnya memulihkan kepercayaan wisatawan untuk melakukan perjalanan wisata. Kedisiplinan dalam penerapan protokol kesehatan di industri pariwisata harus menjadi yang utama dan terbaik di antara bidang kehidupan lain, karena industri pariwisata sendiri harus bangkit memulihkan diri dari dampak negatif pandemi ini.

Pulihnya industri pariwisata tidak lagi hanya
mengandalkan pada sumber daya lama. Tetapi
harus mengadaptasi kebutuhan terkini terkait
keamanan dan keselamatan selama perjalanan.

Penulis Dosen Hotel & Tourism Business, Fakultas Pariwisata, Universitas Ciputra Surabaya

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *