IGK Manila. (BP/Eka)

Oleh : IGK Manila

Memperingati Hari Lahir Pancasila ke-76, 1 Juni 2021, tak ada salahnya kita kembali bertanya tentang kenapa kita wajib ber-Pancasila. Dimulai dari pertanyaan yang paling mendasar ini baru kita menuju pada pertanyaan-pertanyaan lain. Apalagi di tengah krisis pandemi saat ini, yang telah berdampak luas pada berbagai sektor kehidupan, gotong-royong sebagai asas utama Pancasila bisa menjadi semacam obat yang ampuh.

Mari kita mulai dengan sejarah saat Pancasila dilahirkan. Pada 1 Juni 1945, yakni setelah sidang BPUPKI berjalan hampir 5 hari, Bung Karno menyampaikan gagasan tentang dasar negara Indonesia, yang disebut sebagai Pancasila, yang berarti lima prinsip atau asas. Kelima dasar tersebut mencakup kebangsaan, internasionalisme atau perikemanusiaan, demokrasi, keadilan sosial dan ketuhanan Yang Maha Esa.

Dari naskah-naskah pidato para founding fathers dalam rangkaian sidang BPUPKI dan PPKI kita patut belajar banyak. Meskipun terdapat kepentingan golongan, suku bangsa atau wilayah tertentu, yang direpresentasikan oleh sebagian tokoh-tokoh, pada akhirnya semua dapat tempat. Kebangsaan atau nasionalisme kita dibangun melampaui kepentingan-kepentingan sektarian. Di sini kemudian berlaku semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Baca juga:  Perekonomian Bali Hadapi Tantangan Berat di 2023

Sementara itu, wajib juga kita catat bahwa potensi sektarianisme sudah menjadi perhatian para bapak bangsa sejak semula. Dalam cuplikan pidato Bung Karno saat sidang BPUPKI dan PPKI, wilayah yang bernama Hindia Belanda dan kemudian menjadi Indonesia telah dihuni oleh penduduk dengan ragam agama, pandangan atau ideologi, golongan-golongan dan suku bangsa. Ada ribuan pulau, ragam ras dan warna kulit, serta budaya dan adat istiadat. Bahkan sejauh yang sudah teridentifikasi, terdapat 718 ragam bahasa!

Tak mengherankan jika negara yang bernama Indonesia ini menjadi salah satu pusat kekaguman sekaligus perhatian pemikir dan peneliti politik, karena dengan ribuan keragaman bisa tumbuh dan berkembang sampai dengan saat ini. Hemat saya paling kurang terdapat dua hal yang memungkinkan ini yakni, pertama adalah latar belakang historis dan yang kedua adalah apa yang ramai disebut sebagai perasaan senasib, kesepakatan bersama, atau imagined community.

Baca juga:  Meneguhkan Pentingnya ”Sustainable Tourism”

Perasaan senasib-seperjuangan selanjutnya tumbuh di hati para tokoh pergerakan atau pejuang ketika terdapat musuh bersama yang direpresentasikan oleh kolonialisme. Latar belakang historis dan perasaan senasib-seperjuangan ini selanjutnya mengatasi berbagai bentuk perbedaan ras, suku bangsa, wilayah, bahasa dan seterusnya. Namun ungkapan ‘mengatasi’ di sini tidak bisa diartikan sebagai ‘melebur’ atau ‘meniadakan’ adanya entitas-entitas yang berbeda. Tidak kita temukan niat atau cita-cita yang demikian itu pada para pendiri bangsa. Singkat kata, sekali lagi, semua mendapat tempat!
Merawat Pancasila dan Nasionalisme

Tentu saja ini bukan perkara mudah. Meskipun sudah terdapat asas-asas bersama yang bernama Pancasila dan diterjemahkan ke dalam konstitusi berupa UUD 1945 tantangan selalu ada mulai dari sejak Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi.

Orde Reformasi yang kita tempuh saat ini menjadi eksperimentasi berikutnya terkait pemahaman, penghayatan dan pengamalan Pancasila. Berdasar pemahaman tertentu atas Pancasila juga, terjadi gelombang liberalisasi demokrasi.Apakah liberalisasi demokrasi menguatkan bangunan nasionalisme atau kebangsaan bangsa ini?

Baca juga:  Setia Mengawal Ideologi Pancasila

Tentu saja tak ada jawaban pasti. Sebagai sebuah bangsa dan negara kita masih menjadi a nation in making—sebuah bangsa yang masih terus berproses. Belumlah final atau bahkan harus dilihat sebagai proses tanpa akhir. Sehingga, hemat saya, dalam momentum peringatan hari lahir Pancasila ini harus diterima, meskipun tak enak, bahwa proses berbangsa dan bernegara ini akan terus berlangsung, dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Sehingga, klaim dari seseorang, satu golongan atau kelompok mana pun bahwa tafsir mereka adalah yang paling tepat, kontekstual atau wajib diikuti adalah sesat. Sebaliknya, pilihan yang lebih tepat adalah merawat Pancasila dan nasionalisme yang diusungnya dengan berdialektika, yakni secara terus-menerus mendialogkan setiap gagasan atau nilai Pancasila dengan realitas atau perubahan lingkungan sosial dan alam yang terjadi.
Dirgahayu, Pancasila!

Gubernur ABN dan Sekretaris Majelis Tinggi Partai NasDem

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *