Petani sedang berada di sawah. (BP/dok)

Oleh Made Sukma Hartania

Jauh sebelum era kehidupan modern, manusia atau tepatnya manusia purba hidup dengan melewati dua masa penting dalam sejarah mereka, yaitu masa berburu dan yang kemudian dilanjutkan dengan era bercocok tanam. Pertanian di zaman itu tentunya tidak secanggih dan semodern sekarang ini, karena sebagian peralatan masih menggunakan perkakas dari batu.

Meski demikian, zaman ini setidaknya mampu memediasi terjadinya sesuatu yang kita kenal sekarang ini sebagai zaman budaya. Budaya tidak tercatat pertama mulai terbaca ketika manusia purba mengurangi mobilitas mereka dan mulai mencari tempat untuk menetap dan kemudian bercocok tanam.

Ketika manusia mulai menetap, di sanalah mereka mencoba meluaskan pengaruhnya. Kedua cara ini, berburu dan bercocok tanam, adalah esensi awal budaya manusia tidak hanya untuk bertahan hidup tetapi juga memperluas jangkauannya dalam rangka menguasai planet ini. Sejarah juga mempelajari bahwa intensitas perburuan pada zaman bercocok tanam tidaklah terlalu mengendur. Mereka tetap berburu untuk menambah variasi makanan dan yang terpenting adalah semakin mengenal seluk-beluk alam di sekitar mereka.

 

Dewasa ini kita memandang kedua hal ini, berburu dan bercocok tanam dengan skeptis. Berburu hanya dipandang sebagai kegemaran segelintir orang yang memiliki waktu luang berlimpah, sementara bertani dipandang sebagai pekerjaan paling kuno yang mulai kehilangan armada pekerjanya.

Serupa halnya yang terjadi di Bali dalam beberapa dekade terakhir, tidak hanya dominasi sektoral yang mengalami transisi menjadi penyumbang terbesar ekonomi akan tetapi begitu juga dengan tenaga kerja yang bekerja di dalamnya. Kondisi ini kemudian menjadi diskursus klasik yang tidak kunjung selesai dan ujung-ujungnya seringkali saling menyalahkan.

Masalah substansial dengan skala besar nan sensitif, inilah yang kemudian solusinya seringkali tidak kita temui pada ruang debat publik yang cenderung sarat kepentingan dan sangat tendensius. Hal ini terjadi karena sesungguhnya permasalahan pertanian merupakan masalah multisisi (multifaceted) yang harus diselesaikan secara menyeluruh dengan tanpa muatan kepentingan melalui penyatuan pengetahuan, informasi dan kerja nyata demi satu tujuan yaitu masa depan petani dan pertanian yang lebih baik.

Baca juga:  Anak dan Masa Depan Bangsa

Salah satu sisi yang sering diangkat dalam masalah ini adalah petani identik dengan penduduk yang berpendidikan rendah. Tingkat pendidikan penduduk yang bekerja di sektor primer yaitu pertanian dan penggalian apabila dibandingkan, akan jauh lebih rendah dibandingkan dengan kelompok penduduk lain yang bekerja di sektor sekunder maupun tersier.

Hal ini sering disalahartikan bahwa tidak perlu pendidikan tinggi untuk menjadi petani atau mungkin saja bisa diterjemahkan sebagai ‘’untuk apa sekolah tinggi jika ujungnya hanya menjadi petani’’. Cara berpikir ini yang dianut oleh sebagian orangtua yang bekerja sebagai petani, suka atau tidak suka telah turut serta meraut lonjong bulatnya wajah pertanian serta kepercayaan diri seseorang untuk menjadi petani di era ketika semakin tinggi pendidikan maka peluang untuk memiliki kualitas hidup yang lebih baik akan lebih besar.

Sisi ini juga berhubungan dengan apa yang kita kenal sebagai pintu masuk (border to entry) menjadi petani. Sebagian dari kita berpikir sangat mudah untuk menjadi petani. Tidak perlu pendidikan tinggi, jam kerja yang fleksibel serta tidak memerlukan keahlian khusus menjadi stigma yang melekat pada petani. Sayangnya stigma ini kemudian terakumulasi menjadi cara pandang yang beredar dalam lingkup yang lebih luas.

Kita kemudian berpikir mengembalikan pertanian seperti sebelumnya bisa dilakukan dengan mudah, misalnya dengan mengajak kembali sebagian orang menjadi petani. Padahal sesungguhnya tidak semudah itu. Border to Entry di pertanian sesungguhnya sulit ditembus. Untuk menjadi petani kita mesti memiliki lahan atau setidaknya menguasai lahan untuk digarap. Jika tidak memenuhi salah satu dari kedua hal ini, kita mungkin hanya menjadi buruh tani yang berbeda dari petani sesungguhnya.

Baca juga:  Jalan Lurus Menuju Kehancuran Sektor Pertanian di Bali

Dewasa ini, hal ini semakin tidak mudah dilakukan di tengah semakin sedikitnya lahan yang tersisa untuk pertanian. Selain itu petanian kini cukup berbeda dengan pertanian di masa lalu. Di era lampau, pertanian adalah cara hidup sehingga sebagian aktivitas produksi pertanian juga adalah cerminan interaksi manusia dengan manusia lainnya. Dampaknya adalah balas jasa berupa upah selama proses produksi menjadi jauh lebih rendah karena nilai materi ini bisa ditukar dengan hasil panen. Berbeda dengan saat ini ketika proses produksi pertanian hingga panen menggunakan buruh yang dibayar secara harian maupun borongan.

Selanjutnya adalah transisi ekonomi yang terjadi di Bali. Sebagian dari kita tahu bahwa penyumbang utama ekonomi Bali bertranslasi dari sektor primer ke sektor tersier dalam waktu yang relatif cepat. Dalam sejarah ekonomi Bali, industri selalu memegang porsi yang besar walaupun tidak pernah menjadi yang terbesar. Penguatan industri bisa menjadi jembatan antara pertanian dan pariwisata.

Kita tidak perlu meninggalkan pertanian hanya karena kita membangun pariwisata. Pertanian seringkali diabaikan karena pertanian dalam skala tertentu dapat menyejahterakan petani akan tetapi berkontribusi kecil dalam pendapatan atau penerimaan suatu daerah.

Kita tidak dapat memungut pajak dari petani atas hasil panennya, namun pajak ini justru akan dinikmati sebagai pendapatan di wilayah yang merupakan sentra perdagangan hasil pertanian. Peran mediasi industri dapat dilakukan dengan membangun sarana pengolahan hasil pertanian yang terutama ditujukan untuk kebutuhan pariwisata di wilayah yang merupakan sentra pertanian dan bukan di wilayah yang merupakan pusat perekonomian.

Baca juga:  Peran Sentral Guru pada Era Digital

Bali seringkali mengalami over supply pada masa panen sehingga harga komoditas pertanian turun. Dengan pengolahan dan pengemasan, sesungguhnya produk hasil pertanian dapat dinikmati lebih lama. Jeruk Kintamani yang tidak diolah hanya akan bertahan selama beberapa hari akan tetapi apabila diolah dan dikemas akan mampu bertahan lebih dari tiga bulan.

Hasil olahan pertanian ini secara perlahan juga dapat melepaskan ketergantungan pariwisata Bali dari produk impor. Minuman dan makanan hasil olahan produk pertanian Bali perlahan akan mampu menandingi sajian dari produk impor yang banyak disajikan di hotel dan restoran.

Di sisi lain, dengan adanya pembangunan industri ini, kita akan mampu mencegah migrasi pekerja dari suatu daerah ke daerah lain. Pemerintah suatu wilayah pun setidaknya akan merasakan dampak positifnya dengan pendapatan dari industri pengolahan. Hal ini tentu saja akan membantu mengurangi gap pendapatan antara wilayah yang berbasis pertanian dan wilayah tujuan utama wisata.

Pertanian dan pariwisata bukanlah dua kutub yang berlawanan. Musim semi pariwisata Bali bukan berarti musim gugur bagi sektor pertanian. Kedua sektor ini berada di ekuator yang sama sehingga seyogianya berbagi hujan dan terik matahari yang sepadan. Pendeknya, ekonomi yang berkelanjutan adalah ekonomi yang saling menghidupi dan bukan saling menguasai, sehingga oleh karenanya setiap dorongan ekspansi dari ekonomi versi naluri hendaknya diikuti dengan telah mendalam menurut ekonomi versi nurani.

Penulis, pegawai Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bangli

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *