Wayan Windia. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Sektor pertanian di Bali kembali digaungkan di tengah dampak pandemi COVID-19. Namun, di tengah gencarnya sektor pertanian ingin dibangkitkan, ternyata lahan pertanian Bali setiap tahunnya hilang sekitar 2.800 hektare (Ha).

Rencana megaproyek Jalan Tol Gilimanuk-Mengwi yang menggerus lahan produktif dikhawatirkan akan mengancam ketahanan dan kedaulatan pangan di Bali. “Sawah di Bali sudah hilang 2.800 hektare per tahun. Jangan dipercepat lagi. Bahaya bagi ketahanan pangan dan kedaulatan pangan,” tegas Guru Besar Pertanian Universitas Udayana, Prof. Wayan Windia, Kamis (22/4).

Prof. Windia mengatakan pembangunan fisik di Bali terus menggerus lingkungan hijau (zona hijau), sawah dan hutan. Padahal, alam Bali yang berbentuk sawah dan subak sangat terkenal di dunia.

“Subak adalah bagian integral dari kebudayaan Bali. Kalau subak di Bali hancur dan habis, maka kebudayaan Bali akan goyah dan goncang. Maka akibatnya akan sangat fatal bagi Bali,” tandasnya.

Oleh karena itu, pria asal Gianyar ini menegaskan sebaiknya pembangunan fisik di Bali yang menggerus lingkungan hijau, sawah dan hutan dihentikan dulu. Apalagi, terkait rencana pembangunan jalan Tol Gilimanuk-Mengwi mendapat penolakan dari warga.

Baca juga:  Kasus COVID-19 Harian Nasional Lebih Tinggi dari Tambahan Pasien Sembuh

Menurutnya, penolakan tersebut karena sudah mulai terbangun kesadaran bahwa lingkungan alam haruslah dipelihara keberlanjutannya. Dikatakan, secara teoritis para petani memang sangat tidak suka untuk berorganisasi. Apalagi untuk mengurus perlawanan terhadap pihak eksternal.

Hal itu disebabkan karena mereka miskin, tidak memiliki akses, dan pada umumnya selalu kalah melawan eksternal. “Kalau sampai akhirnya petani berani melakukan reaksi, itu berarti kesabarannya sudah habis. Mungkin mereka sudah siap puputan,” ujarnya.

Prof. Windia pun mengira adalah suatu hal yang bijak, ketika tokoh adat dan agama memberikan bantuan dan dukungan. Apalagi, ia sudah sejak lama mengusulkan agar ada wadah koordinasi antara subak, desa dinas, desa adat, dan bendega.

Dengan demikian posisi rakyat di akar rumput akan semakin kuat dalam menghadapi intervensi pihak eksternal. Khususnya intervensi dari pihak investor yang congkak. “Kaum investor menjadi congkak, mungkin karena mereka memiliki segalanya, termasuk akses dengan para penguasa. Ya, kita memang memerlukan investor. Namun mereka harus tidak melanggar aturan yang ada. Investor harus tetap memberhatikan keberlanjutan lingkungan alam raya,” tegas Prof. Windia.

Prof. Windia kembali mengingatkan bahwa harus disadari sawah di Bali berkurang sekitar 2.800 ha per tahun. Sawah di Bali hanya tinggal sekitar 70.000 ha.

Baca juga:  Korupsi Alkes RSUD Mangusada, Susila Divonis 1,5 Tahun Penjara, Sisa Dua Tersangka

Sehingga, apabila pembangunan Jalan Tol Gilimanuk-Mengwi tetap dilakukan dengan menggerus lahan hijau, dampak jangka panjangnya adalah manusia Bali akan berubah wataknya. Karena manusia itu mahluk teritori secara antropologis.

Jadi, kalau palemahannya berubah signifikan, maka manusianya juga akan berubah. Sehingga, kebudayaan Bali juga akan goyang dan guncang ke depannya.

Soal kekhawatiran digerusnya lahan produktif untuk pembangunan Tol Gilimanuk-Mengwi juga disuarakan Walhi Bali. Saat Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Propinsi Bali mengadakan Pembahasan Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA ANDAL) terkait Pembangunan Jalan Tol Gilimanuk-Mengwi sepanjang ± 96,21 Km (Kabupaten Jembrana, Tabanan dan Badung), Direktur Walhi Bali I Made Juli Untung Pratama SH, M.kn, menyoroti penerabasan lahan pertanian produktif.

Peruntukan lahan yang terkena tol, untuk sawah irigasi seluas 188,31 Ha. “Tentu hal ini menjadi suatu yang bertentangan dengan misi Gubernur Bali yaitu memastikan terpenuhinya kebutuhan pangan dalam jumlah dan kualitas yang memadai bagi kehidupan Krama Bali,” katanya, dalam rilis yang diterima.

Baca juga:  Turun, Tambahan Kasus COVID-19 Harian Nasional Capai Segini

Lebih lanjut Untung Pratama menegaskan bahwa jika dikalkulasikan, 1 hektare lahan sawah sedikitnya menghasilkan beras 6 ton. Maka, proyek pembangunan Jalan tol Mengwi-Gilimanuk yang menerabas area sawah seluas 188,31 Ha mengurangi produksi beras di Bali sebanyak 1.129,86 (seribu seratus dua puluh sembilan koma delapan puluh enam) ton. “Hilangnya lahan pertanian yang berdampak pada menurunnya produksi beras akibat rencana proyek tersebut pastinya berdampak sangat signifikan terhadap kebutuhan pangan Bali” tegasnya.

Di samping itu pihaknya juga menyoroti terkait rencana pembangunan Jalan Tol Gilimanuk-Mengwi diindikasikan melintasi kurang lebih 50 Ha Kawasan Pemangku Hutan Lindung (KHPL) Bali Barat. Disamping melewati Hutan Lindung, rencana pembangunan Jalan Tol Gilimanuk-Mengwi juga diindikasikan melintasi kurang lebih 67,44 Ha kawasan Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Padahal kawasan hutan Provinsi Bali belum bisa memenuhi ketentuan minimal 30 persen. “Sehingga hal tersebut seharusnya menjadi catatan penting bagi Pemprov Bali untuk memenuhi ketentuan minimal luas kawasan hutan. Dan hal ini berkali-kali dan sangat sering saya sampaikan. Sebab sampai saat ini Pemprop Bali belum mampu memenuhi ketentuan minimal luas kawasan hutan,” ujarnya. (Winatha/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *