I Wayan Artika. (BP/Istimewa)

Oleh Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum.

Pandemi melumpuhkan sekolah dan mengembalikan kegiatan belajar di rumah. Keluarga terlibat langsung dalam perkara pendidikan formal. Ternyata tidak mampu. Keluarga tiba-tiba menyatakan tugas sekolah, berat.

Sejak pendidikan Barat menjadi salah satu ciri modernisasi, diambil alih untuk mencapai tujuan nasional, saatnya negara membayar utang konstitusi kepada setiap warga. Maka keluarga mempercayai bulat-bulat, menyerahkan anak-anak mereka kepada layanan sekolah formal yang beroperasi seperti kantor-kantor pemerintah.

Modernisasi mengubah proses produksi ekonomi masyarakat, misalnya dari cara tradisional rural menjadi cara industri (urban). Ekonomi tradisional pedesaan atau perkampungan nelayan bergerak sejalan dengan irama alam dan irama sosial. Dalam kegiatan ekonomi rural lahir ritus-ritus suci, tarian, musik, permainan, kompetisi, teknologi tepat guna, festival atau perayaan, ilmu perbintangan, pembacaan musim, genetika, dan kearifan. Terkait dengan konsep pendidikan modern, yang sesungguhnya adalah pendidikan berperspektif industrialis; ekonomi tradisional rural juga telah mengembangkan “pendidikan” bagi anak-anak petani dan nelayan.

Baca juga:  Penyembelihan Hewan Kurban Mandiri Diimbau Patuhi Protokol Kesehatan

Anak-anak terintegrasi dalam semua kegiatan ekonomi. Ada ruang bermain yang telah di-“patenkan” dan di sinilah mereka belajar dan tumbuh untuk menyiapkan diri secara kognitif, psikomotor, apektif, memasuki dunia orang dewasa. Semua suku bangsa yang hidup dalam sistem ekonomi rural memiliki pola asuh tersendiri dan berfungsi sebagai sekolah atau lembaga pendidikan lokal. Kelak, para antropolog atau ahli-ahli pendidikan merumuskan pola asuh tersebut menjadi konsep etnopedagogi.

Ekonomi industri urban memisah ruang sekolah dan ruang kerja. Anak berangkat ke sekolah dan orang tua ke kantor atau ke pabrik dan perusahaan. Jika masih ada kegiatan ekonomi rural di desa, di kebun, huma, kampung nelayan, akan sepi dari anak-anak karena mereka berada di sekolah, yang “berjarak” dan sengaja dipisahkan dengan kegiatan ekonomi. Jarak dan keterasingan anak dan lingkungan semakin nyata dan kuat karena intensitas dan masifnya aktivitas modernisasi di sekolah formal, yang juga dilakukan melalui kurikulum belajar.

Baca juga:  Pandemi Melanda, Perajin Tenun Cagcag Berhenti Beroperasi

Wabah mengembalikan anak-anak kepada keluarga. Keluarga tidak berdaya. Keadaan ini menjadi gangguan dan menimbulkan masalah baru di tengah pandemi. Keluarga juga semakin alpa bahwa pendidikan modern formal birokratis hanya mengembangkan satu sisi, yakni kognitif ketika sekolah menjadi lembaga besar transmisi pengetahuan yang dangkal. Pengetahaun teoretis (sain, matematika, teknologi) mendominasi pikiran orang tua bahwa hal itu semua adalah indikator keberhasilan pendidikan anak-anak mereka. Sama sekali pola asuh tidak berkembang di keluarga karena orang tua telah “teracuni” bahwa pendidikan itu hanya soal kognisi dan tidak penting lagi mengembangkan sikap, tindakan, karakter, atau tata nilai.

Baca juga:  Rangda Nateng Dirah

Janganlah kiranya orang tua yang merasa diri modern dan meraih segala kemajuan jemawa karena kearifan sebagai pengasuh anak (parenting) tidak ada lagi pada diri mereka. Maka keberadaan program Si Bolang adalah sindiran bagi para orangtua modern yang bekerja di pabrik, perusahan ekonomi industri urban, yang menyapih anak-anak mereka sejak balita dan menyerahkan tugas-tugas pengasuhan/parenting ke taman-taman penitipan “barang” (maaf anak). Dunia pendidikan formal dan berbagai urusan belajar kognitif, terasing dari hidup desa, laut, dan peternakan kuda atau kerbau, yang menyita seluruh waktu hidup anak-anak, tidak tampak dalam dunia Si Bolang dan kawan-kawannya.

Penulis Dosen Undiksha, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *