AAGN Ari Dwipayana. (BP/Ist)

INDONESIA memiliki sumberdaya manuskrip kuno yang sangat besar. Saat ini diperkirakan ada sekitar 121.668 judul, yang terdiri dari 82.281 naskah yang ada didalam negeri dan 39.387 judul naskah ada diluar negeri. Meskipun jumlah tersebut tergolong besar, namun masih relatif masih kecil jika dibandingkan dengan besarnya potensi manuskrip nusantara yang masih tersimpan oleh kolektor, perorangan maupun keluarga pewaris tradisi.

Saat ini muncul fenomena baru, bangkitnya semangat para pemerhati naskah kuno Nusantara untuk melakukan digitalisasi naskah kuno Nusantara. Fenomena ini membangkitkan semangat baru karena melahirkan revolusi dalam perawatan kandungan isi naskah kuno. Berbagai lembaga negara, swasta non-profit, perguruan tinggi, maupun individu yang menyimpan koleksi naskah beramai-ramai melakukan proses digitalisasi naskah kuno dengan dukungan dari banyak pihak baik dari dalam maupun luar negeri.

Meski demikian, sampai saat ini belum ada payung besar yang menaungi data digital dan repositori naskah-naskah kuno Nusantara tersebut. Setiap lembaga maupun individu masih berjalan sendiri-sendiri.

Terkait hal tersebut, Perpustakaan Nasional RI menggelar Webinar Penaskahan Nusantara, 1 Data Digital Naskah Nusantara, Kamis, 4 Maret 2021. Acara dibuka welcoming remarks Deputi Bidang Pengembangan Bahan Pustaka dan Jasa Informasi Dra. Ofy Sofiana, M.Hum, dilanjutkan keynote speech oleh Kepala Perpustakaan Nasional RI Drs. Muhammad Syarif Bando, M.M.

Hadir dalam acara tersebut para narasumber yang memiliki konsen dan kepedulian terhadap naskah nusantara, diantaranya AAGN Ari Dwipayana, Koordinator Staf Khusus Presiden RI yang juga Ketua Yayasan Puri Kauhan Ubud, Bali; Dr. Munawar Holil, Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara (MANASSA); Utami Budi Rahayu Hariyadi, Kepala UPT Perpustakaan Universitas Indonesia; John Paterson, Ketua Yayasan Sastra Lestari (YASRI); Dr. H. Dedi Taufik, M.Si, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, dan Tarmizi Abdul Hamid, Direktur Lembaga Rumoh Manuskrip Aceh.

Baca juga:  Lakukan Penipuan, WN Australia Dideportasi

Dalam diskusi tersebut, AAGN Ari Dwipayana, Koordinator Staf Khusus Presiden RI yang juga Ketua Yayasan Puri Kauhan Ubud, menyampaikan paparan berjudul “Puri Kauhan Ubud, Penjaga Tradisi Sastra dan Aksara Bali”. Dalam kesempatan tersebut, Ari menyampaikan upaya-upaya yang telah dilakukan Puri Kauhan, Ubud dalam melakukan konservasi dan digitalisasi lontar.

Ari menjelaskan bahwa Puri Kauhan Ubud, selama lima tahun terakhir telah melakukan berbagai upaya untuk konservasi dan digitalisasi lontar. Puri Kauhan menggunakan pendekatan berbasis keluarga untuk perlindungan dan pemajuan kebudayaan. Menurut Ari, keluarga harus menjadi basis terdepan dalam upaya-upaya untuk merawat dan memajukan kebudayaan, termasuk dalam proses konservasi lontar.

Sebagai pewaris budaya Bali, Puri Kauhan Ubud memiliki rekam jejak yang panjang. Dimulai sejak masa pendiri Puri Kauhan, Ubud, Ida Cokorda Ketut Rai, yang kemudian dilanjutkan oleh Ida Anak Agung Gde Oka Kerebek. Ida Anak Agung Gde Oka Kerebek, yang adalah juru Bahasa dan juga sedahan puri, mewarisi lontar-lontar dari babad, tutur, kakawin, usadha dan sebagainya.

Baca juga:  Mepatung Galungan, Simak Makna di Balik Tradisi Ini

Anak Agung Oka Kerebek bahkan telah menyusun semacam katalog lontar yang dimiliki oleh Puri dan Grya disekitar Ubud. Buku catatan katalog lontar yang berjudul : Wastan Rontal Padrewyan Ide Dane, Para Ska Sarapustaka Swang Swang. Berdasarkan katalog tersebut, disebutkan ada 510 cakep lontar yang tersimpan di Griya dan Puri di sekitar Ubud.

Tradisi menjaga sastra dan aksara Bali ini kemudian dilanjutkan oleh Ari, melalui Yayasan Puri Kauhan, Ubud. Terkait upaya tersebut telah dilakukan berbagai upaya 1berbasis tradisi dan kebudayaan Bali. Pada momen Saniscara (Sabtu) Umanis wuku 1Watugunung, lontar dikeluarkan dari tempat penyimpanan untuk diupacarai, acara ini dilakukan dua kali setahun.

Pada saat acara inilah setiap keluarga diBali yang memiliki lontar bisa melihat secara fisik lontar yang dimiliki. Meskipun disakralkan, namun juga tetap dihidupkan tradisi nyastra. Dibuka, dibaca dan dipakai sebagai bahan rembug sastra.

Di Puri Kauhan telah dilakukan berbagai upaya konservasi lontar yang meliputi pembuatan penyangga dari kayu (penapes atau takepan), digitalisasi, coding agar mudah dikenali, alih aksara, diunggah di website Puri Kauhan, Ubud : www.purikauhanubud.org.

Selanjutnya dilakukan publikasi dengan melakukan berbagai acara seperti rembug sastra tentang Kreta Bahasa, menyiarkan dalam siaran radio dan televisi dan cara-cara lain yang memanfaatkan media baru. Dalam tahap selanjutnya, juga dimungkinkan saintifikasi atas lontar-lontar tertentu.

Melalui berbagai kegiatan yang telah dilakukan, Ari berharap dapat terus menyebarluaskan “virus konservasi dan digitalisasi” kepada keluarga-keluarga yang memiliki koleksi lontar atau naskah kuno.

Baca juga:  Gubernur Jamin Keamanan Mahasiswa Papua di Bali

Puri Kauhan juga telah memperluas sinergi dengan menjalin kerjasama dengan berbagai Universitas/Sekolah Tinggi di bidang riset, Pendidikan, pengabdian masyarakat dan publikasi, salah satunya dengan STAHN Mpu Kuturan Singaraja.

Ari mengapresiasi Pemprov Bali yang telah memiliki Perda terkait Kelangsungan Bahasa dan Sastra Bali. Melalui Perda ini diwajibkan penulisan aksara Bali diruang-ruang publik. Disetiap kecamatan diangkat juga telah diangkat tenaga penyuluh Bahasa Bali, yang juga berperan sebagai agen-agen kebudayaan Bali.

Menutup paparan, Ari memberikan saran untuk meneruskan tradisi menjaga naskah kuno Nusantara diantaranya : Pertama, perlindungan dan pemajuan kebudayaan harus melibatkan keluarga. Mengingat masih banyak naskah-naskah kuno yang tersimpan di keluarga-keluarga diseluruh Indonesia. Ini artinya perlu edukasi dan literasi keluarga untuk merawat dan menjaga naskah-naskah kuno.

Kedua, Perpustakaan Nasional bisa menjadi simpul utama dalam melakukan literasi, pendampingan konservasi naskah dengan mendorong digitalisasi.

Namun demikian, setiap keluarga tetap memiliki hak/kedaulatan untuk menentukan apakah naskah tersebut akan dipublikasi atau dibagikan kepada pihak lain atau tidak.

Ketiga, perlu dibangun jejaring satu data naskah nusantara secara nasional. Dengan menautkan dengan situs digital yang dimiliki keluarga dan pemilik naskah. Sehingga naskah nusantara yang menjadi bagian dari jaringan Perpustakaan nasional semakin berkembang luas dan bisa dimanfaatkan untuk kemajuan bangsa. (Kmb/Balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *