Naga Banda saat diarak berkeliling Catus Pata, sebelum prosesi upacara menuju Pagesengan Tegal Linggah. (BP/Gik)

SEMARAPURA, BALIPOST.com – Setelah delapan bulan meninggal, palebon Bupati Klungkung periode 1983-1993, Tjokorda Gede Agung akhirnya bisa berlangsung di tengah pandemi COVID-19, Rabu (6/1). Setelah melalui persiapan yang alot, bahkan sempat ditunda karena pandemi COVID-19, palebon ini bisa terlaksana dengan penerapan ketat protokol kesehatan. Angga Puri yang ikut dalam palebon pun dibatasi, dimana biasanya bila palebon dari trah puri, warga “tumpah ruah” untuk ikut ngayah mengikuti pelebon.

Sejak awal persiapan palebon, ratusan aparat kepolisian sudah berjaga-jaga di seluruh pos penjagaan. Ada 15 titik akses masuk menuju Catus Pata Klungkung, ditutup polisi agar lokasi upacara benar-benar steril dari pihak-pihak yang tidak berkepentingan. Apalagi, tanpa seleksi rapid test antigen. Seluruh orang yang terlibat, terus diwanti-wanti untuk selalu menerapkan protokol kesehatan melalui pengeras suara. Setiap personil Polisi, TNI, Pecalang, BPBD, Dishub, yang tergabung dalam Satgas COVID-19, nampak menegur setiap orang yang tetap berkerumun.

Baca juga:  Pekerja Kontruksi Bangunan Agar Memperhatikan Protokol Pencegahan Covid-19

Ida Dalem Smara Putra, Raja Puri Agung Klungkung, perihal pelaksanaan palebon ini menyampaikan, sejak meninggal pada akhir Mei lalu, almarhum Tjokorda Gede Agung, disemayamkan di rumah duka di Puri Agung Klungkung. Sekitar pukul 11.30 wita, Layon berangkat dari Puri Agung Klungkung, kemudian ditempatkan di dalam peti diiringi Naga Banda. Selanjutnya, proses upacara oleh ida sulinggih dilakukan di Catus Pata Klungkung. Baru iring-iringan palebon ini, mulai dari Naga Banda dan Wadah Tumpang Sia memargi menuju lokasi Pagesengan Tegal Linggah, dengan melibatkan Angga Puri yang sangat terbatas.

“Seluruh Angga Puri yang terlibat langsung dalam palebon, sudah menjalani rapid test antigen, dimana semuanya hasilnya negatif. Kami membatasi Angga Puri yang terlibat langsung dalam proses palebon. Sesuai dengan arahan Satgas Pencegahan COVID-19. Setiap kelompok atau perangkat, dibatasi hanya 20 orang dalam iring-iringan ini,” katanya.

Ia menambahkan, proses pelebon ini sempat ditunda. Awalnya mau dilaksanakan pada September lalu. Karena situasi pandemi, akhirnya diundur sampai Januari ini. “Kami tidak bisa undur lagi. Soalnya kapan pandemi ini berakhir, kami tidak tahu. Apalagi kalau belum palebon, maka kami juga tidak bisa melakukan upacara lain,” imbuhnya.

Baca juga:  Kasus Positif COVID-19 Capai 82 Ribu Orang, AS Duduki Peringkat Pertama di Dunia

Dalam situasi pandemi ini, upacara palebon ini terpaksa berlangsung sederhana. Kalau tidak terjadi pandemi COVID-19, mungkin akan banyak semeton Angga Puri yang ikut dalam palebon ini. Tetapi, meskipun berlangsung sederhana, palebon ini tidak akan mengurangi makna.

Di pihak lain, Kapolres Klungkung, AKBP Bima Aria Viyasa, menyampaikan agar pelebon ini tetap berlangsung, ia harus menerjunkan 220 orang personil, untuk menjaga penerapan prokes. Dibantu personil TNI, BPBD termasuk petugas Dinas Kesehatan, Dinas Perhubungan, hingga Pecalang. Saking ketatnya prokes, proses palebon menjadi menegangkan. Bahkan, beberapa jurnalis yang meliput di lokasi sempat mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari oknum petugas polisi. Meski sudah disiplin memakai masker. Ada sebanyak 15 titik jalur penutupan jalan, agar mereka mencari jalur lain, yang sedianya mengarah ke Catus Pata. Begitu iring-iringan palebon menuju Pagesengan, akses jalan yang ditutup langsung dibuka kembali untuk memulihkan lalu lintas. “Total anggota keluarga yang terlibat dalam pelebon terbatas hanya 130 orang. Semua sudah terdata,” tegasnya.

Baca juga:  Bupati Persilakan Polisi Usut SK Mutasi Palsu

Sebelumnya, Tjokorda Gede Agung yang sempat menjabat sebagai Bupati Klungkung periode 1983-1993, menghembuskan napas terakhirnya, pada 30 Mei tahun lalu, setelah mengalami stroke sejak tahun 2000. Ia menjabat sebagai Bupati Klungkung ketiga di Bumi Serombotan ini. Ia cukup dikenang masyarakat Klungkung atas kepemimpinannya kala itu. Masyarakat Klungkung sangat merasa kehilangan dari sosok panutan ini. Karena saat yang bersangkutan menjabatlah, sekitar tahun 1992, Kota Klungkung berubah nama menjadi Semarapura yang cukup dikenal hingga sekarang, dengan segala perubahannya. (Bagiarta/Balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *