I Kadek Darsika Aryanta. (BP/Istimewa)

Oleh I Kadek Darsika Aryanta

Konsep merdeka belajar yang terus dikumandangkan oleh Menteri Nadiem Makarim sangatlah positif dan disambut baik oleh guru-guru. Satu tahun konsep merdeka belajar sampai saat ini belum mampu memberikan dampak signifikan untuk mentransformasi guru menjadi lebih baik lagi.

Pandemi Covid-19 yang terjadi belakangan ini memberikan impuls yang kuat terhadap pergeseran program pendidikan. Pada masa sekarang ini menjaga kualitas pendidikan menjadi sangat penting karena degradasi satu tahun pendidikan bisa memberikan dampak lost generation pada pembangunan sumber daya manusia Indonesia di masa mendatang. Untuk itu Kementerian Pendidikan harus mengubah strategi agar pendidikan di Indonesia bisa berjalan dengan baik dan menyesuaikan dengan keadaan yang ada sekarang ini.

Salah satu konsep merdeka belajar tentu saja harus diiringi oleh adanya kemerdekaan mengajar bagi guru. Siswa yang belajar merdeka tidak bisa merdeka kalau guru pemikirannya masih terpenjarakan. Merdeka belajar adalah kemerdekaan berpikir, terutama esensi kemerdekaan berpikir ini harus ada di guru dahulu.

Tanpa terjadi di guru, tidak mungkin bisa terjadi di peserta didik. Tidak bisa dimungkiri, sampai sekarang ini guru masih terkungkung dalam belenggu problematika pendidikan. Selama ini, peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah belum mampu berpihak kepada guru.

Problematika pendidikan yang membelenggu kemerdekaan guru adalah peraturan administrasi guru yang cukup banyak. Di awal sampai akhir tahun administrasi guru sungguh tiada henti. Tuntutan yang tinggi terhadap administrasi ini sangatlah membebani psikologi guru dalam mengajar. Guru menjadi tidak fokus terhadap proses pengembangan pembelajaran di kelas karena urusan administrasi yang cukup berjubel.

Perlu diketahui, guru di sekolah tidak hanya bertugas mengajar dan mendidik siswa saja. Namun ada banyak hal yang mesti dikerjakan. Dimulai dari membuat administrasi pribadi, hingga program tahunan sekolah yang harus dikerjakan setiap tahun.

Baca juga:  Distopia Kebudayaan

Tidak berhenti sampai di sana, administrasi pengelolaan sekolah pun harus dibebankan kepada guru. Tidak jarang, beban administrasi lebih banyak dilakukan guru ketimbang mengajar dan mendidik siswa. Kalau administrasi terlalu banyak bagaimana guru bisa merdeka dalam mengajar?

Selain proses administrasi di sekolah, pengurusan administrasi di eksternal sekolah juga bisa menjadi kendala yang bisa membelenggu guru untuk merdeka dalam mengajar. Administrasi eksternal seperti pengurusan kenaikan pangkat dan pengurusan angka kredit guru masih perlu dievaluasi kembali. Seluruh aturan yang membelenggu guru tersebut sebaiknya perlu direevaluasi kembali agar dapat memberikan kelonggaran bagi guru untuk lebih fokus kembali dalam mengajar dan mendidik siswa. Alat yang ampuh untuk menyederhanakan administrasi adalah aturan baru yang memangkas seluruh administrasi yang membelenggu guru.

Segala peraturan yang membelenggu guru tersebut selama ini diakibatkan oleh penyusunan regulasi yang belum melibatkan guru. Seharusnya dalam penyusunan regulasi untuk guru seyogianya melibatkan minimal organisasi profesi guru yang mewakili suara-suara guru di lapangan. Posisi nilai tawar guru dalam penyusunan regulasi harus ditingkatkan. Suara guru harus didengarkan jangan sampai dianaktirikan oleh pemerintah.

Polemik selanjutnya dalah masalah status guru honorer yang masih terkatung-katung sampai sekarang. Dengan penghasilan yang terbatas tentu saja guru belum bisa merdeka dalam mengajar. Perekrutan guru honorer dilakukan untuk mengisi kekurangan guru. Selain penghasilan yang rendah, profesionalitas guru honorer juga belum dihargai. Guru honorer di sekolah negeri yang telah memiliki sertifikat pendidik sulit mendapatkan penyetaraan golongan dan kepangkatan sama dengan guru PNS atau inpassing.

Baca juga:  Sistem Zonasi Butuh Pemerataan Tenaga Pendidik

Selain administrasi untuk mendukung guru dalam mewujudkan visi guru merdeka mengajar adalah kesejahteraan guru yang masih timpang pada proses pemberian tunjangan sertifikasi guru. Pemberian tunjangan sertifikasi guru yang dilakukan setiap tiga bulan memang menjadi keluhan yang klasik bagi seluruh guru.

Banyak yang mengusulkan bahwa pemberian tunjangan sertifikasi guru seyogianya harus disamakan dengan tunjangan kinerja yang didapatkan seperti profesi-profesi yang lain, sehingga guru tidak harap-harap cemas, bahkan guru diharapkan mampu untuk fokus terhadap mengajar. Itulah perlu dilakukan suatu reformasi kembali peraturan agar guru mendapatkan tunjangan sertifikasi yang merupakan haknya.

Meski begitu, guru tetaplah guru. Walaupun kungkungan administrasi yang terus memenjarakan kebebasan mengajar tidak akan menyurutkan semangat guru untuk terus belajar dan memberikan layanan yang terbaik untuk siswa.

Secara hakikat guru juga merupakan seorang pembelajar yang terus-menerus. Oleh karenanya komitmen menjadi guru berarti bersedia dan siap untuk belajar secara terus-menerus agar dia dapat merespons tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan kehidupan bermasyarakat. Sertifikasi guru dan pengalaman belajar dapat meningkatkan kemampuan guru.

Namun keduanya tidak serta merta dapat berfungsi mengajarkan dan mengembangkan kompetensi guru. Sertifikasi dapat meningkatkan efektivitas pembelajaran sepanjang guru melakukan persiapan dalam setiap melakukan tugasnya mengajar. Pengalaman mengajar tidak serta merta mempunyai hubungan linear dengan efektivitas pembelajaran yang dilaksanakan oleh seorang guru pengalaman mengajar dapat meningkatkan efektivitas pembelajaran manakala guru diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan profesional dengan menumbuhkan kemauan belajar terhadap yang dilakukan, sehingga guru bisa merdeka dalam mengajar.

Spirit merdeka mengajar adalah spirit kemerdekaan berpikir. Spirit kemerdekaan dalam pendidikan Indonesia dicetuskan pertama kali oleh Ki Hadjar Dewantara. Kemerdekaan hendaknya dikenakan terhadap caranya anak-anak berpikir, yaitu jangan selalu ‘’dipelopori’’ atau disuruh mengakui buah pikiran orang lain.

Baca juga:  Kekerasan Seksual Masuk Kampus: Salah Siapa?

Guru yang mampu merdeka dalam mengajar belajar menggambarkan 3 hal, (1) menetapkan tujuan belajar sesuai kebutuhan, minat dan aspirasinya, bukan karena didikte pihak lain, (2) menentukan prioritas, cara dan ritme belajar, termasuk beradaptasi dengan cara baru yang lebih efektif; (3) melakukan evaluasi diri untuk menentukan mana tujuan dan cara belajar yang sudah efektif dan mana yang perlu diperbaiki.

Merdeka bukan berarti bebas (freedom), tetapi kemerdekaan (independence) mengarahkan tujuan, cara dan penilaian belajar. Sebagaimana negara merdeka, guru merdeka belajar berarti menentukan dan mengarahkan nasib dan masa depannya, dalam suatu konteks kehidupan bersama. Guru yang merdeka dalam mengajar diharapkan mampu membangun komitmen pada tujuan pembelajaran.

Pada implementasinya di kelas, guru harus mampu menumbuhkan motivasi internal siswa untuk belajar. Demokrasi yang terjadi di kelas bisa menjadi suatu alternatif dalam pokok-pokok merdeka mengajar. Siswa diajak untuk menetapkan tujuan belajar secara bersama. Kemampuan guru memberikan umpan balik yang konstruktif dalam belajar juga sangat diperlukan agar siswa mampu mendapatkan masukan untuk pembelajaran selanjutnya.

Ciri kebebasan berpikir siswa dan guru dalam belajar adalah terbentuknya kemandirian dalam belajar. Praktik dalam kelas bisa dilakukan dengan meminta siswa untuk mencari informasi secara mandiri dan memberikan fasilitasi pengalaman-pengalaman baik siswa dalam belajar. Satu tahun program merdeka belajar ini berjalan, guru perlu juga untuk mengoreksi diri ke dalam.

Penulis, Guru Fisika Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMN Bali Mandara

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *