Dewa Gde Satrya. (BP/Istimewa)

Oleh Dewa Gde Satrya

Long weekend akhir Oktober lalu menjadi momen yang tidak hanya menyenangkan tetapi juga memberi kesegaran pada jiwa. Ada keterkaitan antara liburan dengan ketahanan jiwa masyarakat Indonesia.

Pada Hari Kesehatan Jiwa sedunia 10 Oktober beberapa tahun lalu, misalnya, tema/isu yang diangkat adalah ‘’Depression: A Global Crisis’’. Menurut WHO, gangguan depresi mengenai lebih dari 350 juta orang setiap tahunnya. Di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, deteksi dini depresi dilakukan pada setiap layanan primer kepada setiap pasien yang datang mencari pertolongan medis. Federasi Dunia untuk Kesehatan Jiwa (World Federation of Mental Health) bahkan pernah menetapkan tema ‘’Mental Health in Older Adults’’.

Turisme sebagai bagian penting dari kehidupan seharusnya difungsikan sebagai salah satu tools untuk mengobati jiwa masyarakat Indonesia. Potensi munculnya stres yang kian sporadis, mulai dari rumah, di jalan, tempat kerja/sekolah, hingga lingkungan sekitar, berpotensi merapuhkan ketahanan jiwa.

Dugaan mudahnya masyarakat stres dan menderita depresi terkait rendahnya waktu luang untuk leisure dan berwisata. Oleh karena problem/pemicu stres, khususnya tekanan hidup yang kian berat tak dapat dielakkan lagi, maka fenomena empiris relasi dua aspek tersebut seharusnya semakin menumbuhkan ruang dan kebutuhan untuk berwisata.

Dalam hal ini, hirarki kebutuhan manusia yang menurut teori klasik digambarkan paling tinggi adalah kebutuhan aktualisasi diri, tampaknya semakin mendekati dengan kebutuhan berwisata di peradaban kekinian. Khususnya ketika fakta menunjukkan stres dan depresi itu juga menyerang siapa saja, termasuk golongan sosial ekonomi menengah ke atas.

Baca juga:  Libur Panjang, Wisdom ke Bali Naik 10 Persen

Abraham Maslow (1908-1970) telah mengamati perilaku manusia modern, yang menurutnya perilaku manusia dimotivasi oleh sesuatu yang mendasar. Secara berurutan dari bawah hingga ke level yang lebih tinggi yaitu kebutuhan fisiologi (makan, minum, seks), rasa aman, kasih sayang, harga diri dan aktualisasi diri. Puncak tertingginya adalah aktualisasi diri. Tampaknya kebenaran teori tersebut diwarnai perkembangan kebutuhan manusia modern dengan aneka dan kompleksitas kepentingan serta kebutuhan. Dalam kondisi semua kebutuhan terpenuhi, manusia modern dengan level pemenuhan kebutuhan yang menurut Maslow paling tinggi, masih ada yang kurang. Buktinya, orang kaya dan public figure pun berpotensi stres.

Kepariwisataan semakin menjadi salah satu kebutuhan esensial manusia di samping kebutuhan pokok yang lainnya, kebutuhan berwisata menjadi sangat dibutuhkan dalam rangka live balancing dari rutinitas keseharian manusia dan tentu saja untuk meningkatkan ‘’antibodi’’, berupa ketahanan jiwa dari pemicu stres dan depresi. Maka timbullah usaha-usaha dalam memenuhi kebutuhan berwisata dan leisure seperti shopping, sport tourism, tour package.

Artinya, di level kebutuhan mendasar pun, masyarakat menengah ke bawah tidak cukup hanya mengejar kebutuhan fisik manakala aktivitas berwisata tidak terpenuhi. Apalagi masyarakat yang menurut hirarki kebutuhan Maslow telah terpenuhi seluruhnya, bahkan semakin berkesempatan untuk mengakses sebesarnya-besarnya untuk berwisata. Ini justru memperlihatkan betapa ladang kepariwisataan di Tanah Air terbuka luas bagi penggalian pundi-pundi negara, dan di kalangan masyarakat luas memberikan peluang untuk mengkreasikan semakin banyak bentuk kewirausahaan guna memenuhi kebutuhan berwisata manusia modern yang semakin sulit terbendung.

Baca juga:  Spirit Nyepi dan Keuangan Berkelanjutan

Bukti bahwa turisme dan bahkan destinasi wisata menjadi obat alami bagi jiwa-jiwa manusia modern dapat ditemui di Ubud. Salah satu kawasan di Kabupaten Gianyar itu memiliki sejarah penamaan hingga sekarang dikenal dengan nama Ubud.

Rsi Markandya, seorang yang suci yang hidup pada masa Majapahit, menemukan obat alami yang menyembuhkan berbagai penyakit di sebuah sungai di desa yang kini bernama Ubud. Di Ubud, terasa kuat sikap tuan rumah yang baik (be a good host) bagi setiap pendatang, memperlakukan tamu secara baik (treat your guest properly) dan membangun sebuah ‘’rumah’’ yang nyaman bagi turis (building a home sweet home).

Hermawan Kartajaya (2009) menyatakan, karakteristik manajemen dan keseluruhan Ubud merupakan kisah sukses penerapan prinsip marketing 3.0 yang dewasa ini menjadi metode yang pas di era human-centric ini. Era customer-centric dengan pendekatan marketing 1.0 dan era customer-centric dengan pola marketing 2.0 telah berlalu. Dalam konsep marketing 3.0, sinergi antara profit oriented dengan tanggung jawab sosial penciptaan nilai-nilai positif untuk umat manusia (komunitas lokal khususnya), alam dan lingkungan hidup, kebudayaan dan kearifan lokal, merupakan suatu keniscayaan. Seperti asal kata Ubud yaitu obat, Ubud seperti obat kehidupan bagi siapa pun yang berada dan tinggal di dalamnya. Demikian pula aktivitas turisme, merupakan obat alami bagi jiwa-jiwa manusia Indonesia modern.

Baca juga:  Strategi Mempertahankan Kedaulatan Negara

Dalam konteks masa pandemi saat ini, kiranya long week end lalu maupun liburan selanjutnya di masa pandemi, dapat diarifi dengan aktivitas berwisata yang aman. Bila terpaksa bepergian ke luar rumah, hindari kerumunan dan menjaga jarak, selalu menggunakan masker, rajin mencuci tangan, menjaga pola hidup bersih dan sehat, serta menjaga kesehatan masing-masing. Namun, sekiranya dimungkinkan, rekreasi di area rumah masing-masing dengan menghadirkan kebersamaan dan membuat sebuah aktivitas terbatas untuk anggota keluarga di tempat tinggal masing-masing, dapat menjadi pilihan.

Kita bersyukur atas long week end dan masa liburan, maka mari kita arifi dengan cara memanfaatkan secara bijak di masa pandemi ini. Kiranya energi positif dari long week end dan liburan untuk berkarya memberi nilai di kehidupan. Liburan memang menyegarkan jiwa.

Penulis, Dosen Hotel and Tourism Business Fakultas Pariwisata Universitas Ciputra Surabaya

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *