Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Headline Bali Post (10/9) terkait larangan warga negara Indonesia memasuki wilayah 59 negara menyiratkan belum terkendalinya penyebaran virus Corona atau Covid-19 di Indonesia. Tentu saja hal ini berdampak negatif pada citra Indonesia, karena pada kelanjutannya negara-negara tersebut tentu akan melarang warganya berkunjung ke Indonesia.

Memang tidak bisa dimungkiri bahwa sejak diberlakukannya PSBB yang mulai dilonggarkan dengan frase ‘’masa transisi’’, masyarakat seakan meluapkan kebebasannya dengan berkegiatan di luar rumah; seakan pandemi Covid-19 sudah tidak ada lagi di lingkungan mereka. Hal ini memang bisa dimaklumi jika mengingat bahwa masyarakat sudah ‘’mengurung diri’’ stay at home dalam rentang waktu sekitar enam bulan.

Akibatnya terjadi lonjakan pasien positif Covid-19 yang terasa mengkhawatirkan. Memang ada pendapat dari para ahli bahwa lonjakan ini terjadi bukan semata karena faktor protokol kesehatan yang kurang ditaati warga, namun juga ada faktor semakin intensifnya dilakukan tracing dan testing berupa swab test PCR di masyarakat, sehingga membuka peluang semakin banyak ditemukan warga yang positif Covid-19.

Dalam situasi penularan pasien positif Covid-19 yang masih tinggi seperti sekarang ini, pengawasan di zona merah atau kuning seharusnya berlangsung lebih ketat. Namun realitas di lapangan justru warga terkesan abai terhadap protokol kesehatan yang diwajibkan sebagai upaya memutus rantai penyebaran Covid-19.

Realitas tersebut juga ditunjukkan dari hasil survei daring yang dilakukan terhadap responden di Jakarta pada periode Mei-Juni 2020 oleh Social Resilience Lab Nanyang Technological University (NTU) bekerja sama dengan laporcovid19.org. Diperoleh hasil yang cukup mengejutkan, bahwa 54 persen responden menyatakan kemungkinan mereka tertular Covid-19 sangat kecil. Sementara 23 persen menyatakan kemungkinan tertular kecil.

Baca juga:  "Manastapah" Bukan Ungkapan Sakit Jiwa

Sejumlah warga bahkan menyatakan ragu bahwa Covid-19 mengancam keselamatan mereka. Menurut mereka, hasil positif Covid-19 pada orang tanpa gejala masih dianggap tidak masuk akal. Kondisi ini menunjukkan bahwa tidak sedikit orang beranggapan tidak ada sesuatu masalah yang perlu dikhawatirkan. Situasi ini tentu sangat dilematis di lapangan. Perasaan mati rasa terhadap ancaman Covid-19 tersebut memang dipengaruhi oleh berbagai faktor.

Sementara di sisi lain, penyampaian pesan pencegahan Covid-19 juga masih dirasakan kurang masif dan efektif. Hal ini terlihat dari kurangnya media informasi pada suatu zona rawan, yang menyatakan bahwa kawasan tersebut masuk zona merah ataupun kuning. Sehingga acapkali dijumpai warga sudah asyik nongkrong di pinggir jalan tanpa mengenakan masker. Sementara anak-anak bebas berlarian tanpa kenal jaga jarak.

Menciptakan keseimbangan informasi antara bias optimisme dan ketakutan berlebihan, menjadi tantangan tersendiri dalam mendorong perubahan perilaku di masyarakat agar membiasakan diri dengan protokol kesehatan. Perasaan mati rasa terhadap ancaman maut Covid-19 tentu sangat mengkhawatirkan, mengingat Covid-19 belum sepenuhnya hilang dari lingkungan kehidupan kita.

Barangkali apa yang sudah dilakukan 1.493 desa adat di Bali dapat diduplikasi di berbagai wilayah lain di Indonesia, sebagai upaya meredam penularan Covid-19. Desa adat di Bali didorong untuk membuat Pararem Desa Adat tentang Pengaturan Pencegahan dan Pengendalian Gering Agung Covid-19, sebagaimana dilansir pada headline Bali Post (10/7).

Baca juga:  Perlindungan Bali Dari Dampak COVID-19

Saat ini zona risiko tinggi di Bali bahkan meluas. Dari sembilan kabupaten/kota yang ada di Bali semua masuk dalam status zona merah alias risiko tinggi, kecuali Kabupaten Klungkung yang berada dalam status zona oranye alias risiko sedang. Situasi ini tentu saja menjadi ujian bagi krama Bali untuk menunjukkan kekompakan dalam mengatasi penyebaran Covid-19.

Kejenuhan dalam stay at home dan situasi psikologi massa menjadi pemicu kondisi mati rasa pada Covid-19. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan agar terbangun kesadaran bersama menuju hidup yang produktif dan tetap sehat. Pertama, sosialisasi masif tentang ancaman Covid-19. Krama Bali harus semakin banyak diberi informasi tentang keberadaan virus ini melalui berbagai media secara terus-menerus, komprehensif dan berkelanjutan. Semua pihak harus bergerak secara simultan dalam membangun kesadaran pentingnya protokol kesehatan.

Kedua, aktivitas tracing, testing, dan treatment harus dilakukan secara intensif. Tracing (penelusuran) harus terus dilakukan pada orang yang diduga pernah melakukan kontak erat dengan pasien positif Covid-19, sebagai upaya memutus rantai penyebaran virus. Testing (pengujian) berupa uji rapid maupan uji swab harus intensif dilakukan pada orang yang diduga terpapar Covid-19, baik yang bergejala ataupun tidak. Sementara treatment (pengobatan/ penyembuhan) harus dilakukan secara ketat terhadap seluruh pasien positif Covid-19, agar kembali sehat dan tidak menjadi sumber penyebaran baru Covid-19.

Baca juga:  Pelajaran dari Venezuela

Ketiga, protokol kesehatan dan ekonomi harus dijalankan beriringan. Masyarakat harus semakin produktif agar segera bangkit dari keterpurukan ekonomi, namun di sisi lain masyarakat juga harus tetap sehat dan terhindar dari paparan Covid-19. Protokol kesehatan era pandemi Covid-19 harus menjadi pegangan pada saat masyarakat menjalankan setiap kegiatan ekonominya.

Bagi krama Bali, desa adat memiliki peran besar sebagai ujung tombak dalam menentukan keberhasilan membangun kesadaran akan bahaya Covid-19. Hal ini mengingat desa adat memiliki kekuatan dan ikatan secara sekala-niskala yang kuat dengan krama desa adatnya. Melalui pararem desa adat diharapkan akan meningkatkan kedisiplinan krama desa adat dalam mematuhi protokol kesehatan, guna memutus rantai penyebaran Covid-19.

Protokol tatanan kehidupan Bali era baru harus terus disosialisasikan secara intensif agar terbangun kesadaran masyarakat secara masif dalam menjalani hidup sehat jasmani dan ekonomi. Saatnya kekompakan krama Bali diuji. Sanggupkah untuk saling bergotong royong manyama braya mengatasi pandemi Covid-19. Dibutuhkan pendekatan regulasi, koordinasi terpadu, dan pendekatan secara sekala dan niskala sesuai local wisdom krama Bali.

Penulis, arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *