Ribut Lupiyanto. (BP/Istimewa)

Oleh Ribut Lupiyanto

Dunia termasuk Indonesia sedang menghadapi era kenormalan baru. Adaptasi dengan tetap memprioritaskan protokol kesehatan menjadi kenormalan kehidupan yang baru. Dunia digital juga mesti bersiap diri mendukungnya dengan protokol literasi digital yang produktif.

Masyarakat kini semakin melek dunia digital. Kondisi pandemik menuntut banyak aktivitas yang dituntut online dan harus dikerjakan di rumah. Antara lain pembelajaran, pekerjaan, jual-beli dan lainnya. Kondisi ini ke depan menjadi peluang sekaligus tantangan bagi literasi digital.

Dunia digital telah merebut ruang nyata manusia dan bahkan mampu memengaruhi dinamika di dunia nyata. Kejadian di seluruh penjuru dunia tidak ada yang luput dari intaian dunia maya dan hanya dalam hitungan detik penyebarannya. Fenomena ini memiliki korelasi signifikan terhadap dinamika pers. Dunia pers yang sulit mengikuti perkembangan terpaksa gulung tikar.

Di sisi lain perkembangan jurnalisme digital menimbulkan penyakit berupa jebakan hoaks. Jurnalisme digital memiliki kompetisi yang jauh lebih sengit. Tuntutan kecepatan dan sensansi berita sangat tinggi. Celah ini yang menjadi pintu masuk serangan hoaks yang menjebak kualitas pers dan jurnalisme.

Selain untuk kepentingan golongan, hoaks juga bisa dimanfaatkan untuk adu domba. Era revolusi industri 4.0 menjadikan modus operandi adu domba semakin kompleks dan halus. Modus terkuat dan paling sering terjadi adalah dengan operasi penyebaran konten hoaks. Penyebaran hoaks jarang yang terjadi secara alamiah, namun direkayasa sedemikian rupa dengan target politik terukur.

Baca juga:  Tumpah Ruah Masyarakat Hadiri Pesta Rakyat Simpedes, Transaksi Makin Mudah dengan BRImo

Hoaks atau berita palsu paling dominan tersebar melalui media sosial. Van der Linden (2018) memaparkan ada lima indikator yang biasa terdapat dalam berita palsu. Pertama, terdengar konyol untuk menjadi kenyataan. Judul berita kerap dirancang khusus agar kita mengkliknya. Jadi, kita tidak boleh terjebak clickbait. Kedua, berhati-hati dengan konten berita politik. Berita palsu memang dibingkai untuk mewakili kepentingan kelompok tertentu. Banyak riset menunjukkan bahwa manusia lebih memperhatikan dan memproses informasi yang sepaham dengan pemikirannya.

Ketiga, berita hoaks lebih cepat viral daripada fakta. Viral tidak selalu menjadi indikator yang baik tentang hal-hal penting. Konten viral yang dibagikan berulang kali sering didasarkan pada hal-hal tidak akurat. Keempat, verifikasi sumber dan konteks. Ciri paling mencolok dari berita palsu adalah ketiadaan sumber. Berita palsu mampu bertahan di tengah masyarakat karena kita terus-menerus dihujani informasi tersebut. Kelima, jangan terlalu percaya dengan berita yang beredar di media sosial. Media sosial bukan situs berita yang terjamin kebenarannya. Media sosial memungkinkan semua orang menyampaikan informasi yang terlihat seperti nyata.

Baca juga:  LPD pada Era Revolusi Industri 4.0

Kementerian Kominfo (2017) menyatakan bahwa bicara hoaks itu ada dua hal. Pertama, berita bohong harus punya nilai subjek-objek yang dirugikan. Kedua, melanggar Pasal 28 ayat 2 Undang-undang No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Serangan hoaks mesti disikapi dengan tanggap dan sigap, bukan malah gagap. Kesadaran sekaligus kecakapan virtual mesti ditingkatkan melalui literasi digital kepada semua warganet. Dalam dunia maya, semua warganet dapat memposting atau mewartakan setiap hal yang diinginkan. Untuk itu, pemahaman tentang netizen journalism mulai dari yang paling sederhana mesti diberikan.

Warganet mesti berperan aktif dalam pengumpulan, pelaporan, analisis, dan penyebaraan berita dan informasi melalui dunia maya. Pada prinsipnya jurnalisme dunia maya sama dengan jurnalisme arus utama. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001) memaparkan beberapa elemen jurnalisme yang dapat diadopsi warganet.

Pertama, kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. Kedua, loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga. Ketiga, esensi jurnalisme adalah disiplin dalam verifikasi. Keempat, jurnalis harus menjaga independensi dari pihak yang mereka liput (sumber berita).

Kelima, jurnalis harus melayani sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan. Keenam, jurnalisme harus menyediakan forum publik bagi kritik maupun dukungan warga. Ketujuh, jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting itu menarik dan relevan. Kedelapan, jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional. Kesembilan, jurnalis menulis dengan suara hati nurani mereka.

Baca juga:  Masih Rendah, Perlindungan Konsumen di Era Digital

Kode etik juga mesti dijunjung dalam berdinamika di dunia maya. Positivisme mesti dikembangkan di dunia maya. Prinsip bad news is good news harus diubah menjadi good news is good news. Warganet mesti berperan memberikan pencerahan serta mengajak warganet lain agar dapat lebih optimistis dan lebih baik. Warganet juga penting memperhatikan balance information dalam memposting informasi.

Cek dan ricek dapat dilakukan agar terhindar dari budi daya hoaks. Kabar yang tidak jelas, janggal, tidak valid, dan tidak kredibel sumbernya mesti disikapi hati-hati. Warganet penting tidak mudah melakukan share informasi sebelum membaca utuh dan mempertimbangkan validasi serta menilai potensi undur hoaksnya.

Hal yang tidak bertanggung jawab adalah ketika hoaks dan benih konflik yang mengusik iklim damai justru diproduksi oleh jurnalisme digital. Dilema finansial dapat mendorong perbuatan memalukan tersebut. Era kini santer terdengar adanya bisnis jual-beli buzzer, intelijen digital, dan sejenisnya. Warganet mesti cerdas dan diimbangi regulasi yang tegas. Kemampuan jurnalisme warganet yang sederhana bagi semua warganet dapat menjadi jalan mitigasi strategis dalam merawat dunia maya.

Penulis, Deputi Direktur Center for Public Capacity Acceleration (C-PubliCA)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *