DENPASAR, BALIPOST.com – Bali memiliki sejumlah potensi energi baru dan terbarukan (EBT). Antaralain, tenaga air, mini hidro dan mikrohidro serta bioenergi untuk listrik yang terdiri dari biomass, biogas, surya, angin, energi laut dan panas bumi.

Potensi ini tertuang dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). “Untuk RUED (Rencana Umum Energi Daerah) itu kan tergantung potensi lokal nanti dan kemampuan daerah. Dari semua itu pasti ada prioritas dan bisa dikembangkan mana. Saat ini yang visibel adalah surya,” ujar Kepala Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral, Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Provinsi Bali, Ida Bagus Setiawan usai mengikuti rapat pembahasan awal Ranperda tentang Rencana Umum Energi Daerah Provinsi (RUED-P) Bali Tahun 2020-2050 di DPRD Bali, Kamis (2/6).

Namun, lanjut Setiawan, tenaga surya atau matahari memiliki kelemahan intermittent. Yakni tidak ada di malam hari atau saat mendung.

Baca juga:  Masuki Masa Resesi, Perlu Adanya Mitigasi Cadangan Pangan

Oleh karena itu, diperlukan sistem dan jaringan yang kuat pada saat on grid. Artinya, kalau sinar matahari hilang atau tidak ada, tetap ada penggantinya.

“Listrik itu dalam 24 jam kan harus selalu mengalir. Kalau surya kan ada batasannya, intermittent. Jadi kita juga beriringan dengan PLN untuk memperkuat sistem grid-nya di Bali,” jelasnya mendampingi Kepala Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Provinsi Bali, IB Ngurah Arda.

Untuk potensi EBT lainnya, menurut Setiawan memang ada tapi masih kecil. Sebagai contoh air, karena prioritas utamanya adalah untuk layanan dasar air baku.

Prioritas kedua untuk irigasi lahan pertanian, baru kemudian untuk energi. Dengan kata lain, air bisa dimanfaatkan untuk sumber energi kalau prioritas pertama dan kedua sudah terpenuhi.

“Sehingga itu tidak mungkin besar-besaran. Maka skenario atau skemanya ini pasti ke surya yang memungkinkan,” imbuhnya.

Setiawan menambahkan, hampir semua wilayah Bali sesuai kajian Universitas Udayana potensial untuk pengembangan PLTS. Kecuali di daerah yang agak berawan seperti Kintamani, Bangli, potensi itu tidak akan maksimal. Berbeda dengan tempat terbuka seperti Bali utara dan Bali timur.

Baca juga:  Mengenalkan Kondisi Lingkungan Alam kepada Anak-anak

Kendati saat memasang konstruksi tetap harus melihat mitigasi bencana. “Teknologi sekarang bisa tidak hanya di atap, di farming, tapi juga bisa di dinding. Terus ada juga untuk genteng, sudah ada riset dan model. Cuma tinggal secara komersial seperti apa,” paparnya.

Sedangkan angin, Setiawan menyebut dengan teknologi yang ada ternyata tidak optimal. Pasalnya dari 12 bulan, hanya 3 bulan saja bisa menghasilkan energi sehingga tidak layak secara ekonomi.

Kecuali ada penemuan melalui riset terkait teknologi yang tepat untuk kondisi angin di Bali agar menghasilkan listrik sepanjang tahun. Kemudian mengenai potensi panas bumi, saat ini sudah dimanfaatkan untuk wisata air panas atau bukan pembangkit listrik.

Baca juga:  Soal Coronavirus, Bali Lakukan Antisipasi Didatangi 2 Penerbangan Langsung dari Wuhan

“Kalau itu ternyata lebih bagus untuk masyarakat, itu yang harus ditingkatkan supaya wisatanya makin banyak,” jelasnya.

Ketua Komisi III DPRD Bali, IGA Diah Werdhi Srikandi mengatakan, saat ini sudah ada PLTS di Kayubihi yang dikelola Perusda Bangli. Listrik yang dihasilkan sudah dijual ke PLN. Dalam sehari menghasilkan 3000 kWh yang dijual Rp 750 per kWh.

Selain itu, Pemprov Bali serta ada beberapa hotel dan vila juga sudah memasang panel surya. NNanti kita akan ke sana untuk melihat prosesnya,” kata Koordinator Pansus Ranperda RUED-P Bali Tahun 2020-2050 ini.

Pihaknya mendapat informasi dari pusat bahwa akan dibangun PLTS di Jembrana dan Karangasem. Sebab, sinar matahari di dua kabupaten ini cukup bagus. Di Nusa Penida sempat ada PLTB (tenaga bayu) namun gagal karena tidak dikelola. Demikian pula PLTB di Kubu, Karangasem. (Rindra Devita/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *