Prof. I Wayan Suartana. (BP/Istimewa)

Oleh: I Wayan Suartana

Wacana untuk memaksimalkan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) dalam masa pandemi Covid-19 seperti dilontarkan oleh Sekda Badung, baru-baru ini, harus direspons positif disertai dengan sikap hati-hati. Seperti yang diberitakan, opsi ini salah satu upaya untuk membantu kemampuan fiskal pemerintah daerah yang kelihatannya akan terkuras untuk penanganan pandemi ini beserta dampak ekonomi dan sosialnya.

Opsi lainnya misalnya dengan menerbitkan surat utang atau obligasi daerah akan memakan waktu lama dan belum tentu laku di pasaran (non marketable). Intinya, LPD dilirik karena secara kelembagaan sudah berakar kuat di masyarakat.

Skemanya sebetulnya hampir mirip dengan surat utang yaitu LPD seperti membeli ‘’surat utang’’ yang diterbitkan pemerintah atau pemerintah daerah menggunakan LPD sebagai intermediasi dalam menyalurkan bantuan atau entitas bertujuan khusus ‘’lumbung pangan’’ kepada masyarakat dengan kontrak atau underlying pinjaman. Ada grace period yaitu pembayaran bunga dan pokoknya akan dibayarkan sesuai dengan kesepakatan.

Pada masa krisis di mana semua pihak berjuang untuk kemanusiaan, adanya ide dan kebijakan mestinya kita telaah dengan sense of crisis, objektif dan terukur. Di depan mata kita besar kemungkinan telah terjadi degradasi kesejahteraan. Angka pengangguran dan kemiskinan diperkirakan melesat naik dan sampai kapan ini akan berakhir tidak ada yang tahu.

Baca juga:  Tri ’’Kite’’ Karana

Terobosan dan inovasi kebijakan pada hakikatnya merupakan esensi gotong royong harus dipandang dalam perspektif menyelamatkan kemanusiaan dalam jangka pendek yang hitung-hitungannya bukan lagi bulanan atau tahunan tetapi harian. Dengan demikian, memaksimalkan peran LPD dapat ditelaah dari berbagai sisi.

Pertama, peran dan fungsi LPD sesuai dengan tujuan awal pendiriannya untuk saling bahu-membahu bergotong royong membantu masyarakat (krama) harus diperkuat terus dan ujian terberatnya pada masa pandemi ini. Di satu sisi LPD harus tetap memperhatikan kesehatan keuangannya dan di sisi lain harus juga empati dengan keadaan krama-nya.

Pengelola harus paham bagaimana cara menyelamatkan krama dan sekaligus menyelamatkan LPD. Meski penuh ketidakpastian, tidak boleh berpasrah diri tanpa ada upaya secuil apa pun. Persoalan yang terjadi sekarang adalah menurunnya kemampuan debitur untuk membayar angsuran atau mungkin kehilangan kekuatannya. LPD harus bersikap dengan memberikan kelonggaran atau keringanan dari sisi persentase bunga, tenggat waktu dan penundaan sampai keadaan benar-benar pulih.

Baca juga:  Kekerasan Seksual dan Kesetaraan Jender

Penyehatan kredit atau penjadwalan kembali berbasis arus kas debitur besar kemungkinan tidak bisa diterapkan. Bukan waktunya memikirkan laba tetapi terpenting bagaimana likuiditas LPD tidak terganggu (minimal biaya pegawai dan dana pihak ketiga/masyarakat terbayarkan). LPD hadir untuk membuat tenang krama, bukan sebaliknya membuat cemas.

Diperlukan kearifan dalam mengelola LPD. LPD unik dari sisi kepemilikan dan pengambilan keputusan. Ada nuansa fleksibilitas di situ. Pada momen inilah modal fleksibilitas itu digunakan untuk membantu siapa pun termasuk pemerintah daerah. Inovasi berbasis kearifan lokal memitigasi krisis akan diapresiasi oleh siapa pun. Siapakah pemilik LPD? Ya krama adat. Nah, di sinilah poin kritisnya, jangan alergi dengan masukan dan saran krama sebaliknya jangan juga menerima saran krama yang tidak masuk akal dan di luar konteks sense of crisis.

Kedua, ide untuk melibatkan LPD mestinya disertai dengan analisis fundamental keuangan LPD. LPD yang sustainable tentu mempunyai cadangan modal kuat. Atau barangkali desa adat yang sumber daya ekonominya besar memberikan modal penyertaan khusus dalam masa pandemi ini. Desa adat menginjeksi permodalan. Ini adalah kondisi ideal tetapi belum tentu semua LPD bisa melakukannya. Bila berdasarkan hasil analisis fundamental kondisi LPD sehat dan tidak berisiko, ide untuk melibatkan LPD bersinergi dengan pemerintah daerah layak untuk dipertimbangkan.

Baca juga:  Bercermin pada Kenegarawanan Bhisma 

Ketiga, krisis memberikan banyak pelajaran bagi lembaga keuangan termasuk LPD bahwa hanya mengandalkan sumber pendapatan bunga memiliki risiko lebih tinggi dari nonpendapatan bunga pada zaman virtual ini. Semoga kondisi secepatnya normal dan kondusif, pada saat itulah harus terjadi perubahan paradigma dari interest based income menjadi fee based income artinya pendapatan LPD tidak didominasi oleh pendapatan bunga tetapi dari fee.

Dari mana fee itu berasal? Salah satunya dari transaksi nontunai yang sekarang justru menjadi ‘’dewa penolong’’ bank-bank besar. Apakah peraturan dan bentuk hukum LPD harus diubah? Apakah terjadi perubahan infrastruktur teknologi LPD? Kenapa tidak, kalau itu yang membuat survive maka LPD harus beradaptasi dengan perubahan dan ketidakpastian lingkungan. Kita tidak ingin LPD itu ambruk karena kemampuan adaptasinya yang rendah. LPD sebagai lembaga adat kebanggaan masyarakat Bali harus tetap hidup.

Penulis, Profesor FEB Unud dan Klian Sabha Desa, Desa Adat Pecatu

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *