kintamani
Ilustrasi. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Gempa bumi dengan kekuatan 6,3 SR mengguncang Bali pada Kamis (19/3) dinihari sekitar pukul 01.45 Wita. Gempa ini terjadi bertepatan dengan Sasih Kasanga.

Berdasarkan beberapa referensi lontar, yakni Lontar Palelindon dan Lontar Lebur Sangsa, gempa yang terjadi pada Sasih Kasanga memiliki makna yang kurang baik. Budayawan, Sugi Lanus, mengatakan dalam Lontar Palalindon (Koleksi Gedong Kirtya, Singaraja, No.519.III.a disebutkan: Sasih Kasangan tĕkaning lindu, Bhatara Durga mayoga, ilan buta amĕnging Hyang Haruna, sasab mrana, bala lumarĕp pala bungkah dadi, wang lara panĕs, bala lumarĕp para bungkah dadi, wang lara panĕs, gĕring makweh kasambut dening Buta Paksi Raja, Këbo Raja, Buta Raja, Bayu Raja, Toya Raja.

Artinya, Bulan Kasanga (Maret) datangnya gempa, Bhatara Durga sedang beryoga, kekuatan negatif buta yang bertiup adalah Hyang Haruna. “Hama wabah, melahap umbi-umbian, orang menderita sakit panas, banyak penyakit disebabkan oleh buta Paksi Raja, Kebo Raja, Buta Raja, Bayu Raja dan Toya Raja,” ujar Sugi Lanus saat dikonfirmasi, Kamis (19/3).

Sugi Lanus menambahkan, isi Lontar Palalindon ini adalah berbagai ciri, termasuk ciri kedutan, tetapi tentang ciri linuh (gempa) itu halaman 1a-3a. “Lontar ini menarik karena linuh (getaran) juga terjadi di bhuana alit (tubuh manusia), dikenal dengan nama “kedutan”. Makanya, ciri kedutan dijelaskan dalam lontar ini. Kedutan itu lindon di tubuh personal, berlaku sebagai ciri personal yang terjadi pada yang bersangkutan. Kalau linuh ini lindon bhuana agung, bumi yang menjadi ciri berlaku secara luasan geografis yang merasakan getaran (lindu, london),” jelasnya.

Baca juga:  Ditata, Patung Dewa Ruci Dilengkapi Air Mancur Berteknologi Terbaru

Selain Lontar Palelindon, Sugi Lanus mengatakan ada Lontar Lebur Sangsa yang membahas gempa berdasarkan harinya. Walaupun gempa terjadi Kamis, namun menurut perhitungan di Bali, kejadian gempa pada dini hari masih termasuk hari Rabu. “Kalau gempa tengah malam itu masuk Rabu, menurut Wariga (perhitungan hari Bali), sebab peristiwa jam 2 itu biasanya dihitung masih hari sebelumnya. Beda dengan sekarang setiap lewat jam 00.00 disebut masuk hari berikutnya. Kalau menurut orang Bali gempa kemarin itu masih masuk hari Rabu,” tandas Sugi Lanus.

Dalam Lontar Lebur Sangsa disebutkan: Bu, tĕkaning lindu, suka duhka ikang wang kapĕgataning sih, rana wang gĕring, nguyang, akrĕta kuning rupaning wang, adagang mewĕh, ewĕh sang amawa bumi.

Artinya:

Baca juga:  Ini, Dudonan Karya di Pura Ulun Danu Batur

Rabu, terjadinya gempa, suka-duhka orang terputus kasih, menderita orang sakit, nguyang (gelisah), pucat-kuning wajah manusia, berjualan susah, susah pemerintahan (susah pemimpin masyarakat). “Antara isi lontar Palalindon dan Lebur Sangsa cocok,” ungkapnya.

Sugi menyebut, sebenarnya ada banyak isi manuskrip lontar Wariga, dan sebagian kecil mengupas linuh. “Banyak yang mengungkap perlunya kerja kesimbangan alam. Melakukan sinkronisasi antara pekerjaan dengan hari. Saya berpikir lontar wariga itu bukan hanya lontar mencari hari baik. Tapi lontar yang isinya memberitahu kewajiban apa saja yang perlu dilakukan setiap hari-hari tertentu,” tandasnya.

Sementara itu, Sulinggih Ida Pandita Mpu Siwa Budha Daksa Darmita dari Geria Agung Sukawati, mengatakan gempa secara fisik disebabkan oleh ada pergerakan atau pelepasan energi yang sangat besar pada lempengan bumi. sedangkan jika ditinjau dari metafisis  gempa pada hari Rabo pon pujut, tepat sasih kesanga, menurut lontar Palelindon, Sanghyang Surya “mayoga” meditasi personifikasi Brahman.

Baca juga:  Warga Wilayah Status Siaga Diminta Lakukan Evakuasi

Di mana fenomena itu akan berimplikasi keadaan baik dan buruk keadaan di bumi. Seperti contoh, banjir akan berkurang karena hujan sudah mulai jarang turun, tanaman para petani panennya kurang baik karena wabah penyakit tanaman merajalela terutama tikus perusak,hama wereng dan balang sangit sangit jika dijual amat murah karena hasilnya jelek. Banyak orang ditimpa sakit, bahkan ditimpa kematian agak lumayan drastis.

Sementara itu, para pemimpin pemerintahan sangat risau akan fenomena yang jarang terjadi ini. Kendati demikian, masyarakat tidak usah risau, karena secara metafisis “niskala” untuk mereda wabah ini secepatnya wajib mengadakan pemahayu bumi ngaturan sesajen di kahyangan “arthadewa” dan pecaruan hasilnya rahayu jagat kabeh.

Bhatara asih dan punya pemimpin yang tangguh, maka penyakit akan berangsur-angsur lenyap dari bumi. Dalam lontar prekempa disebutkan rikala jagat gring sebagai pelindung alam semesta dan sarira/buwana alit wajib menghaturkan banten yang dinamakan sesayut pagehwsi. “Banten ini dipersembahkan kepada Hyang Ibu Pertiwi dan Hyang Anantabhoga,” ujarnya. (Winatha/balipost)

BAGIKAN