Ilustrasi. (BP/dok)

Oleh Prof. Dr. I Ketut Suda, M.Si.

Stratifikasi sosial yang berkembang dalam masyarakat, sebenarnya bermula dari gagasan Marx mengenai determinasi kelas. Bagi Marx, masyarakat secara umum terbagi ke dalam dua kelas, yakni kelas buruh dan kelas borjuis (kapitalis).

Dalam praktiknya kelas borjuis selalu berusaha agar ide-ide atau gagasan-gagasannya dapat diterima di dalam masyarakat secara normal atau natural (Pengantar Penerbit, Buku Althusser, tentang Ideologi, t.t:x). Oleh karenanya, menurut Marx, pengetahuan adalah class based, artinya pengetahuan itu telah terinskripsikan di dalam muasal kelasnya dan bekerja untuk kepentingan kelas besangkutan.

Jadi inti pandangan Marx tentang kelas dalam masyarakat adalah bahwa kelas sosial dalam masyarakat itu diproduksi oleh masyarakat itu sendiri, dan bukan sesuatu yang alami (natural). Dalam arti kesadaran kita dideterminasi oleh masyarakat tempat individu itu hidup dan berkembang, bukan oleh watak atau pun psikologi individu bersangkutan. Namun berbeda asal-muasal kelas sosial yang berkembang di dunia akademik.

Kelas sosial yang terbangun di dunia akademik sebenarnya bermula dari pemikiran Descartes tentang wawasan humanismenya yang menjadikan manusia sebagai subjek sentral dalam pemecahan masalah-masalah kehidupan di dunia ini.

Baca juga:  Merawat Pariwisata Bali

Artinya, manusia di dalam memecahkan berbagai permasalahan hidupnya seakan hanya bisa ditempuh melalui wawasan mekanis dan rasionalisme. Sementara hal-hal yang bersifat irasional, metafisik, tradisional, dan yang sejenisnya dianggap tidak bermakna apa-apa. Baginya, ilmu pengetahuan rasional dianggap sebagai mahkota dari apa yang disebutnya kebenaran ideal.

Berangkat dari gagasan tersebut, maka dalam masyarakat akademik pun kemudian muncul kelas sosial atau apa yang disebut stratifikasi sosial, yang dalam konteks ini penulis sebut ‘’kastanisasi pendidikan’’. Pasalnya, ketika wawasan mekanistis dan rasionalisme dipandang sebagai satu-satunya jalan untuk mencapai kebenaran, maka ketika itu pula dalam dunia pendidikan muncul anggapan bahwa mata ajar yang menekankan wawasan mekanik dan rasionalisme dianggap memiliki kedudukan yang tinggi, sementara mata ajar yang mendasarkan diri pada kebenaran mitos, dongeng, dan legenda akan ditempatkan pada posisi yang rendah.

Dalam kondisi masyarakat akademik seperti itu, maka analisis yang dapat dikembangkan dalam konteks ini adalah bahwa diskursus teoretis tentang modernisme telah mengunggulkan ‘’ratio’’ sebagai sumber kemajuan dalam masyarakat, dan mengesampingkan kebenaran yang bersumber pada ajaran mistik dan teologis. Akibatnya, terjadilah stratifikasi di dunia akademik, di mana para siswa dan juga orangtuanya sering beranggapan bahwa kelompok mata ajar eksakta dianggap memiliki kasta yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok mata ajar ilmu sosial dan humaniora.

Baca juga:  MAHA dan ESA : Dua Konsep Pedagogis Ampuh dalam Pembelajaran Abad Ke-21

Bahkan tidak jarang masyarakat memandang bahwa anak-anak yang mendapat jurusan MIPA di lembaga pendidikan sekolah dianggap kastanya lebih tinggi dari anak-anak yang mendapat jurusan IPS, atau jurusan Bahasa. Hal ini menjadi logis, karena selama ini pendidikan yang berkembang di Indonesia adalah pendidikan yang berbasis filsafat pragmatisme.

Filsafat pragmatisme menurut John Dewey (1916) adalah aliran filsafat yang lebih mementingkan hal-hal yang bersifat praktis (practicality) dibandingkan hal-hal yang bersifat pencerahan. Padahal teori Quantum Teaching tegas menyatakan bahwa belajar akan bermakna (meaning full) jika informasi (materi) yang dipelajari mampu mencerahkan (mencerdaskan) para peserta didik.

Jika mengacu pada teori Quantum Teaching kedua belahan otak manusia mempunyai fungsi untuk mengendalikan aktivitas intelektual yang berbeda. Misalnya, otak kiri bertugas untuk melatih kemampuan intelektual manusia di bidang penalaran, logika, matematika, dan analisis yang cenderung dibidangi oleh mata pelajaran eksakta.

Baca juga:  Pertanian Perkotaan Futuristik

Sementara otak kanan berfungsi untuk melatih kemampuan intelektual manusia dalam bidang kreativitas, konseptual, imajinasi, dan intuisi, yang kesemuanya ini dibidangi oleh ilmu sosial dan humniora.

Adanya stratifikasi sosial di dunia akademik semacam itu, berakibat terjadinya subordinasi mata pelajaran, yakni kelompok mata ajar bidang sosial humaniora dianggap tersubordinat, sementara kelompok mata ajar eksakta dianggap sebagai kelompok yang dominan. Dengan demikian muncul anggapan bahwa kelompok mata ajar sosial humaniora menjadi mata ajar kelas dua, sementara kelompok mata ajar eksakta merupakan kelompok mata ajar kelas satu.

Atau dengan bahasa lainnya dapat dikatakan bahwa ada anggapan dalam masyarakat yang menganggap bahwa kelompok mata ajar eksakta kastanya lebih tinggi dibandingkan kelompok mata ajar ilmu sosial dan humaniora. Dengan demikian, menurut hemat penulis telah muncul kasta baru dunia pendidikan, yakni stratifikasi sosial yang terbangun di dalam masyarakat akademik yang berbasis pada filsafat pragmatisme, yakni pembelajaran yang lebih menekankan hal-hal yang bersifat praktis (practicality) dibandingkan hal-hal yang bersifat mencerahkan.

Penulis, Guru Besar bidang Sosiologi Pendidikan, Program Pascasarjana, Universitas Hindu Indonesia, Denpasar

 

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *