Suasana pelantikan anggota DPR/MPR RI. (BP/dok)

Oleh Ribut Lupiyanto

Anggota DPR/DPRD atau legislator baru segera memikul beban berat menjalankan amanat rakyat lima tahun ke depan. Kompleksitas permasalahan menjadi tantangan yang mesti diagendakan.

Salah satu bidang permasalahan yang dihadapi adalah lingkungan hidup. Kelestarian lingkungan semakin mengkhawatirkan dalam menjamin keberlanjutan pembangunan.

Sejalan dengan dinamika pembangunan, pertumbuhan penduduk, dan fenomena alam, terjadi berbagai permasalahan  lingkungan hidup di semua wilayah. Permasalahan ini mengkhawatirkan bagi keberlanjutan pembangunan.

Merosotnya kualitas lingkungan dapat dicermati dari banyak sektor. Pertama adalah persampahan. Jenis sampah paling membahayakan dan volumenya banyak adalah bersumber dari plastik.

Plastik menjadi dilema bagi manusia di kehidupan modern ini. Keberadaannya  dibutuhkan, tetapi sampahnya membahayakan. Pengelolaan yang optimal adalah kunci. Jika dapat dikelola, maka sampah akan berubah dari musibah menjadi berkah. Butuh pendekatan komprehensif mulai dari kesadaran individu hingga komitmen politik.

Indonesia merupakan negara kedua di dunia penghasil sampah plastik terbesar ke laut (KLHK, 2016). Pemerintah pernah dua kali mengeluarkan kebijakan kantong plastik berbayar. Kebijakan ini tidak berjalan optimal.

Kebijakan ini terkesan sebagai bentuk penyederhanaan dan tidak memerlukan pengawasan ketat (Gesuri, 2016). Kedua adalah polusi udara. Banyak perkotaan yang telah tercemar udaranya.

Baca juga:  Koperasi Hadapi Permasalahan Berat di Masa Pandemi Covid-19

Kondisi paling buruk adalah Jakarta, bahkan terburuk sedunia. Jakarta kerap dinominalisakan menjadi kota paling berpolusi di dunia versi data Air Visual. Air Quality Index (AQI) Jakarta berada pada kisaran angka 188. Artinya, kualitas udara di Jakarta tidak sehat. Kualitas udara juga tercemar pada daerah-daerah yang terjadi kebakaran hutan dan wilayah sekitarnya, seperti di Kalimantan dan Sumatera.

Ketiga adalah kemiskinan. Dari sisi geografis, jumlah penduduk miskin paling banyak mendominasi di pulau Jawa sebesar 15,31 juta jiwa. Sedangkan sisanya tersebar di Sumatra sebesar 6,31 juta jiwa, Bali dan Nusa Tenggara 2,18 juta jiwa, pulau Sulawesi 2,19 juta jiwa, Maluku sebanyak 1,53 juta jiwa, dan Kalimantan 0,99 juta jiwa. Sebanyak 63 persen penduduk miskin Indonesia berada di perdesaan dan mayoritas adalah petani dan nelayan. Kemiskinan sebagian disebabkan rendahnya daya dukung lingkungan.

Penanganan lingkungan menjadi salah satu isu pada kampanye 2019, meskipun bukan isu seksi dan utama. Kristiadi (2014) menyampaikan bahwa janji politik merupakan etika sosial dan bagian dari peradaban.

Hal ini terkait dengan niat, komitmen, dan iktikad untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Sayangnya pengalaman membuktikan banjir janji kampanye sekadar basa-basi. Iktikad untuk merealisasikan masih jauh panggang dari api. Kondisi traumatik ini menjadi tantangan legislator baru untuk meyakinkan publik dengan pembuktian selama lima tahun mendatang.

Baca juga:  Metaverse, Tantangan Perlindungan Data Pribadi

Optimalisasi Kinerja

Legislator baru mesti menjalankan politik ekologi. Politik ekologi secara umum terbagi atas lingkungan internal dan eksternal (Almond, 2012). Lingkungan internal terdiri dari lingkungan fisik, sosial dan ekonomi domestik. Sedangkan lingkungan eksternal antara lain politik internasional, ekologi internasional, dan sosial internasional.

Kepemimpinan politik ramah ekologi mestinya hadir mulai secara substansial maupun faktual. Secara substansial terkait komitmen politik hijau kontestan menuju pembangunan DIY yang lestari dan berkelanjutan. Sedangkan secara faktual mesti dibuktikan lima tahun ke depan.

Beban agenda untuk menjawab tantangan lingkungan selama lima tahun ke depan memberikan konsekuensi perbaikan kinerja legislator. Beberapa hal mesti diupayakan legislator baru dan pihak-pihak terkait.

Pertama, Partai politik penting melakukan evaluasi kinerja legislator sebelumnya. Hasil evaluasi menjadi bahan perbaikan ke depan. Penempatan legislator ke alat kelengkapan dan komisi mesti mempertimbangkan kapasitas, kualifikasi pendidikan, pengalaman, dan kepedulian masing-masing. Komisi bidang lingkungan penting diisi oleh wajah legislator yang melek dan peduli lingkungan.

Baca juga:  CHSE di Bisnis Transportasi

Kedua, legislator baru mesti memiliki jiwa pembelajar yang cepat. Pasca-pelantikan legislator langsung menjalankan tugas dan menghadapi permasalahan lapangan. Wajah baru penting cepat belajar, baik dalam hal konseptual maupun faktual.

Legislator petahana dapat menjadi pembimbing informal bagi yang baru. Sekat partai politik dan psikologis mesti disingkirkan demi pengabdian kepada rakyat. Agenda bimbingan teknis di awal melaksanakan tugas juga mesti diprioritaskan untuk penguatan kapasitas dasar legislatif. Legislator baru penting memahami konsepsi pengelolaan lingkungan terpadu dan isu lingkungan.

Ketiga, mitra legislatif yaitu Bupati atau Wali Kota melalui Dinas Lingkungan Hidup penting koordinatif dan memberikan data akurat terhadap legislator baru. Masyarakat, baik individu maupun komunitas dan LSM penting mengajukan tuntutan agenda lingkungan lima tahun ke depan.

Pengawasan dari rakyat penting dilakukan sebagai penyeimbang menuju optimalisasi kinerja. Legislator baru mesti mengubur agenda pribadi berupa target pengembalian modal finansial selama kampanye pemilu. Partai politik juga penting untuk tidak membebani personal legislator dengan target finansial yang tidak wajar. Semua elemen mesti bergandengan tangan dalam agenda perbaikan mutu lingkungan hidup di semua wilayah.

Penulis, Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *