Sejumlah penari Bali sedang melihat ponselnya sambil menunggu pementasan. (BP/dok)

Sektor pariwisata Bali kini juga mengalami perubahan ke arah penurunan. Jika tak mau disebut mengalami krisis, kita bisa menyebutnya pariwisata Bali mengalami sedikit degradasi.

Semua ini akibat kondisi ekonomi makro secara global. Namun kondisi ini tak akan berlangsung lama, karena pariwisata Bali sebenarnya memiliki banyak keunggulan yang tak dikalahkan oleh teknologi.

Di era serba digitalisasi dengan paradigma serba cepat dan efisien (bukan murah), semua bentuk kebutuhan kehidupan masyarakat kini serba dekat. Tinggal men-klik Bali semua potensi wisata bisa kita saksikan lewat gambar dan video.

Ini juga yang membuat objek wisata kita mulai turun kunjungannya. Tanpa disadari semua info soal objek wisata kita dapatkan. Hanya satu yang belum adalah kata “pernah” menikmati objek wisata Bali. Makanya kemajuan Iptek sekarang mestinya diarahkan guna menggugah warga asing mengunjungi Bali.

Baca juga:  Bangkitkan Pengusaha Berbasis Teknologi

Kedua, pendukung budaya Bali yakni krama Bali harus diperkuat dan diberdayakan. Ketika pariwisata dengan sistem konvensional, banyak travel agent yang hidup di Indonesia kebanyakan dikelola oleh warga luar Bali, yakni Jakarta.

Bahkan cenderung lebih banyak dikendalikan oleh warga asing. Di era 1980-an hingga 1990-an, yang banyak menikmati dolarnya pariwisata Bali justru orang luar Bali.

Masyarakat Bali yang notabene adalah pendukung budaya Bali hanya menjadi objek bagi pariwisata. Pasnya disebut Bali untuk pariwisata, bukan pariwisata untuk Bali. Jadilah Bali dieksploitasi untuk pariwisata.

Pokoknya asal ada pembebasan tanah untuk pariwisata, segala izin dan urusan cepat tuntas. Sementara petani yang pemilik lahan mau mensertifikatkan tanahnya sulitnya luar biasa. Makanya jangan heran banyak lahan produktif di Bali di era tersebut untuk sektor pariwisata.

Kini di era digital hampir 80 persen travel yang masih konvensional kalah bersaing dengan travel siystem online. Jika ingin tak terlindas dari kemajuan teknologi, semua komponen dan pendukung pariwisata harus dan wajib berbasis digital.

Baca juga:  Bahasa Bali di Era Digitalisasi

Nah, siapa yang cepat dia yang menang. Siapa yang murah dia juga yang menang. Buktinya dengan aplikasi digital kini tiket hotel dan paket hiburan di pariwisata bisa dijual dengan harga lebih murah dibandingkan dengan paket ala konvensional.

Diperlukan itikad baik guna memberdayakan pendukung budaya Bali. Kita setuju dengan Perda Desa Adat yang sedang dibahas di DPRD Bali guna memperluat desa adat dan peran krama Bali di sektor ekonomi, termasuk adat.

Coba bayangkan, krama adat dan warga Bali hanya bisa mengelola iuran parkir dan sewa selempot bagi wisatawan yang mengunjungi sebuah objek wisata di sebuah wilayah desa adat. Kini bila perlu dibuatkan aturan iuran masuk bagi wisatawan yang masuk ke kas desa. Dengan demikian desa adat memiliki penerimaan yang lebih besar dari sebelumnya.

Baca juga:  Menjadi Masyarakat Terbuka

Kedua, sumbangan kunjungan harusnya menyentuh krama Bali. Itikad baik memperkuat krama Bali ini harusnya tegak lurus dari pejabat paling atas hingga terbawah. Jangan disunat sana-sini, utamakan sesuai dengan peruntukkannya.

Yang terakhir perusahaan-perusahaan besar yang berbasiskan digital diikat untuk menyumbang hasil keuntungan demi budaya Bali. Seperti Gojek, Bukalapak, Shoffie, dll., mereka banyak mendapatkan di Bali namun belum jelas kontribusinya bagi pendukung budaya Bali.

Kalau mereka mengatakan dampak sosial dan ekonomisnya, namun yang berhubungan langsung dengan pendukung budaya Bali jelas belum. Ayo anggota Dewan yang baru bergerak dan perjuangkan. Termasuk apa yang kita dapatkan di Bandara Ngurah Rai serta pelabuhan strategis lainnya.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *