Ilustrasi. (BP/ist)

Dewasa ini, kita sangat sulit menemukan pemimpin yang benar-benar jujur, bersih dari korupsi. Padahal, budaya korupsi sudah ada sejak manusia ini ada di bumi ini, hanya kadar intensitas kesalahannya yang berbeda.

Keluarga adalah menjadi pusat pendidikan anti-korupsi yang utama dan pertama. Dikatakan demikian, nilai-nilai pendidikan yang normatif yakni membawa pada perubahan diri yang lebih baik diterima pertama di keluarga. Bahkan di keluarga, anak-anak mendapat sentuhan segala hal yang utama seperti lewat kasih sayang dan pendidikan antikorupsi lewat kearifan lokal.

Lihat saja orangtua krama Bali (baca umat Hindu) mengajarkan anaknya tiap hari sebelum makan ngaturang banten nasi atau persembahan. Hal ini selain bermanfaat menanamkan pendidikan spiritual juga untuk terbiasa menghadapkan diri bahwa apa pun yang kita makan dan nikmati adalah hasil dari pekerjaan yang halal.

Baca juga:  Kapan Pajak Pariwisata Berbasis Digital?

Keluarga juga membiasakan anaknya berbelanja dan ikhlas mengembalikan uang kembalian sekecil apa pun juga. Ini juga bagus dalam penanaman pendidikan anti-korupsi bahwa kalau bukan kita yang punya jangan diambil, atau dicuri. Namun, pendidikan penuh makna itu pada era penuh perubahan kali ini banyak tergerus. Namun, bukan berarti kita menyerah begitu saja. Pendidikan karakter harus tetap ditanamkan baik lewat keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Di sekolah, jajaran sekolah sangat hati-hati membelanjakan barang dan jasa. Caranya bekerja mengikuti regulasi, berintegritas demi kepentingan negara. Kedua, jujur dalam menggunakan uang milik sekolah yang diambil dari para orangtua siswa. Guru pun mesti jujur dalam menjual buku mata pelajaran, tanpa ada unsur menguntungkan diri sendiri. Jika ini dilakukan semua komponen sekolah, bukan tidak mungkin kita akan menjadi bangsa yang besar di kemudian hari.

Baca juga:  Ruang Keluarga sebagai Media Komunikasi

Imbas pendidikan keluarga dan pendidikan formal saling mengisi. Jangan sampai di sekolah, kita mengajarkan anak-anak jangan korupsi, sementara di rumah terjadi proses pembiaran. Kata para ahli, kuncinya adalah tak ada niat mencuri atau korupsi. Niat inilah yang sering menjerat sejumlah pejabat negara yang kaya mendadak namun secara mendadak di penjara karena kasus korupsi.

Perlu diingat bahwa pendidikan korupsi tak efektif dengan cara memberi larangan kepada siswa dan anak di rumah. Yang paling bagus adalah memberi pemahaman akan dampak dari sebuah perbuatan yang melanggar hukum. Untuk itu diperlukan komitmen dan integritas. Apalagi masyarakat Bali mengenal ajaran Catur Marga dan Catur Purusuartha.

Baca juga:  Polri Terapkan Sanksi Bagi Pelanggar Kebijakan Mudik Lebaran

Filosofi Catur Purusuartha yang mengajarkan umat Hindu untuk hidup kaya berdasarkan darma dan ketentuan yang benar. Kayalah engkau sekaya-kayanya, senanglah engkau sesenang-senangnya, dengan syarat kepantasan dan  kewajaran untuk mencapai moksharthan jagaditha,  yakni kesejahteraan di dunia dan akhirat. Ajaran ini mengajak semua orang  meraih kekayaan dengan  cara kerja, bukan lewat korupsi.

Juga bisa dengan menjalankan ajaran Catur Marga. Bhakti Marga adalah ketulusan menerima diri sendiri. Kriya Marga dengan jalan bekerja keras. Jnana Marga dengan berusaha meningkatkan kualitas diri untuk menjalankan Yoga Marga yakni fokus dan profesional.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *