Warga melintas di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Terpadu Motamasin di Malaka, NTT. (BP/dok)

Oleh Dr. Dewa Gede Sudika Mangku, S.H., LL.M.

Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Republik Indonesia bertekad pada tahun 2017 akan segera menyelesaikan persoalan-persoalan internasional yang tengah dihadapi, salah satu dari 14 program kerja tersebut di antaranya adalah mempercepat penyelesaian perbatasan darat dengan negara-negara sahabat, salah satunya dengan Timor Leste. Hingga saat ini, Indonesia dan Timor Leste masih menyisakan persoalan perbatasan darat di beberapa segmen.

Permasalahan perbatasan darat antara Indonesia dan Timor Leste terbagi menjadi dua segmen, yaitu unresolved segment dan unsurveyed segment. Unresolved segment mempunyai makna ialah tidak dilakukan aktivitas pada wilayah tersebut atau bisa dikatakan secara sederhana ialah segmen yang belum terselesaikan, sedangkan unsurveyed segment, maksudnya ialah segmen yang sudah didelineasi akan tetapi masyarakatnya menolak untuk didemarkasi dengan alasan tidak mau kehilangan lahan pertanian.

Yang termasuk kategori unresolved segment yang pertama ialah di segmen Noel Besi – Citrana tepatnya di Kabupaten Kupang, kedua negara masih menyisakan sengketa di antara kedua negara di mana daerah yang menjadi area sengketa ialah Dusun Naktuka yang berada di antara Sungai Noel Besi dan Sungai Nono Tuinam.

Perbedaan antara Indonesia dan Timor Leste berkenaan tentang persepsi landasan yang dipakai dalam penentuan garis batas antara kedua negara. Pihak Indonesia berpendapat bahwa batas wilayah antara Indonesia dan Timor Leste adalah Noel Besi (sungai besar), bukan Noemnea (parit kecil) sebagaimana yang dituntut oleh Timor Leste.

Yang kedua ialah, di Segmen Bijaelsunan, yang terletak di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) – Oben (Timor Leste) menyisakan persoalan berkenaan dengan tanah ulayat. Sengketa muncul dikarenakan adanya pandangan yang berbeda terhadap perjanjian internasional yang ada dan adanya masalah adat. Timor Leste berpendapat bahwa Indonesia tidak menaati A Convention for the Demarcation of Portuguese and Dutch Dominions on the Island of Timor yang ditandatangani tanggal 1 Oktober 1914 (Traktar 1904) yang telah dijadikan dasar hukum penetapan perbatasan kedua negara serta telah membuat klaim sendiri atas lahan sengketa dengan dasar yang berbeda.

Baca juga:  Kebudayaan Kritis Konstruktif

Kemudian yang termasuk kategori unsurveyed segment ialah terdapat empat wilayah sengketa yang setelah ditetapkan dan disepakati masuk wilayah Timor Leste, namun belum selesai disurvei. Pertama, di wilayah Subina, Desa Inbate, Kecamatan Bikomi dengan luas 393,5 hektar. Kemudian kedua, di Pistana, Desa Sunkaen, Kecamatan Bikomi Nilulat. Ada daerah sengketa pada Co. 4890-5590 sampai dengan Co. 4924-5378 dan luas kepemilikan tanah masih dalam pendataan, karena sampai dengan saat ini, lokasi tersebut belum disurvei. Ketiga, di wilayah Nego Numfo, Desa Haumeniana, Kecamatan Bikomi. Daerah sengketa berada di Co. 4880-5290 sampai dengan Co. 4802-5143 seluas 290 hektar. Terakhir, di Tubu Banat, Desa Nilulat, Kecamatan Bikomi Nilulat.

Dengan melihat data di atas, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah yang banyak dan pelik. Jika kita melihat sejarahnya Indonesia dan Timor Leste telah bersepakat menggunakan A Convention for the Demarcation of Portuguese and Dutch Dominions on the Island of Timor 1904 (Traktat 1904) serta Permanent Court of Arbitration 1914 (PCA 1914) sebagai dasar hukum perbatasan kedua negara, akan tetapi hingga saat ini masih menyisakan permasalahan dan kedua negara selalu menemukan jalan buntu untuk menyelesaian permasalahan tersebut.

Indonesia harus segera menyelesaikan permasalahan perbatasan darat dengan Timor Leste, sebab isu ini merupakan sangat sensitif dan dapat mengundang kembali bentrokan atau konflik antarwarga yang ada di perbatasan tersebut yang sebelumnya sudah sering terjadi. Jangan anggap remeh persoalan di beberapa segmen tersebut dan pemerintah harus segera ambil langkah untuk terus bernegosiasi mencari titik temu masalah ini.

Peran Tokoh Adat

Antara Indonesia khususnya di Nusa Tenggara Timur dengan Timor Leste masih memiliki hubungan kekerabatan yang kental yang tidak bisa dipisahkan. Hal ini dapat dilihat dari sejarah masa lalu. Sebab jauh sebelumnya, wilayah-wilayah yang disengketakan tersebut merupakan bagian dari kerajaan-kerajaan yang hingga saat ini masih eksis keberadaannya dan disakralkan oleh warga setempat. Jadi, tokoh adat masih menjadi elemen penting untuk didengar dan di dalam membantu permasalahan yang timbul di dalam masyarakat adat di sana termasuk masalah perbatasan darat antara Indonesia dan Timor Leste.

Baca juga:  Kapolres Temui Sejumlah Tokoh Adat, Ini yang Dibahas

Pada tanggal 18 Oktober 2012 tepatnya di Kabupaten Kupang diadakan pertemuan tokoh adat bertujuan untuk membicarakan penyelesaian titik batas dengan menggunakan pendekatan budaya atau adat istiadat di antara kedua negara, kemudian dilanjutkan melakukan pertemuan di Oecussi Timor Leste pada tanggal 9-10 November 2012 untuk menindaklanjuti pertemuan sebelumnya yang melibatkan Bupati dan tokoh adat dari Kabupaten Kupang, Kabupaten TTU serta Distrik Oecussi.

Pada tanggal 28 Juni 2013, Pemerintah Kabupaten Kupang memfasilitasi dan merancang pertemuan tokoh adat dan tokoh masyarakat Amfoang untuk penyelesaian perbatasan di antara Indonesia dan Timor Leste khususnya di Noel Besi – Citrana (unresolved) secara sosial budaya. Pertemuan tokoh adat tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan, di antaranya adalah sebagai berikut: seluruh tokoh Amfoang menyepakati batas antara eks Kerajaan Amfoang dan Kerajaan Ambenu yang disaksikan oleh Pemerintah Belanda dan Pemerintah Portugis adalah Sungai Noel Besi; perjanjian batas yang dimaksud tidak ditandai dengan pal batas atau benda buatan manusia melainkan bekas alam yakni dari arah laut kolam besar sampai dengan Bidjael Sunan melalui sungai Noel Besi; seluruh peserta pertemuan menyepakati penyelesaian sengketa batas antara Amfoang dan Ambenu (Timor Leste) dilakukan secara adat setelah hasil pertemuan disampaikan kepada Raja Amfoang.

Pada tanggal 14 November 2017 diadakan pertemuan antara para tokoh adat Indonesia dan Timor Leste. Pertemuan yang dihadiri sekitar 350 orang dari perwakilan pemerintah serta tokoh adat kedua negara dengan menghasilkan ‘’Pernyataan Bersama’’ dituangkan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh keempat raja yaitu Raja Liurai, Raja Sonba’i, Raja Amfoang dari Indonesia, dan Raja Ambenu dari Timor Leste.

Baca juga:  Pembatasan Kunjungan dari 8 Negara Mulai Berlaku, Bukan Penutupan Penerbangan

Kesepakatan yang berhasil dicapai di antaranya ialah memperkokoh tali persaudaraan dalam rangka melestarikan nilai–nilai adat istiadat yang telah ditanamkan oleh para leluhur dalam filosofi Nekaf Mese Ansaof Mese Atoni Pah Meto; Mendukung tegaknya perdamaian di tapal batas sebagaimana telah ditetapkan dalam sumpah adat oleh para leluhur dan diharapkan kedua negara; Garis batas antarnegara tidak menjadi titik sengketa sebagaimana yang terjadi selama ini, melainkan menjadi titik sosial dan titik persaudaraan, serta mendorong dan mendesak pemerintah kedua negara agar segera menyelesaikan titik–titik batas yang belum diselesaikan.

Tokoh adat setempat harus mendapatkan prioritas untuk didengar pendapatnya. Sebab, masyarakat Indonesia dan Timor Leste masih memiliki hubungan kekerabatan yang sangat erat. Pendekatan sosial budaya memang harus terus dilakukan di samping selalu berpedoman kepada Traktat 1904 serta Peradilan Arbitrase Internasional 1914 masa peninggalan kolonial.

Untuk menyelesaikan segmen-segmen yang belum terselesaikan baik yang di unresolved segment maupun unsurveyed segment, perlu terus dilakukan negosiasi kedua negara bila perlu libatkan tokoh-tokoh adat serta tokoh masyarakat di perbatasan kedua negara. Hal ini diperlukan untuk ditindaklanjuti pada pertemuan Joint Border Committe yang telah dibentuk kedua negara. Niat untuk menyelesaikan batas darat dengan Timor Leste harus segera dilaksanakan. Hal ini tentu senada dengan program Nawacita yang digaungkan oleh pemerintahan Jokowi, di antaranya ialah membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.

Penulis, dosen Ilmu Hukum Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *