Ilustrasi. (BP/dok)

Oleh I Wayan Sariasa

Penutup kepala yang di Indonesia umum disebut topi, sudah biasa dipakai di mana-mana dari masa ke masa oleh orang-orang (pria/wanita, tua/muda, kakek/nenek), orang dusun hingga orang perkotaan tanpa mengenal “SARA” dan tanpa membedakan warna kulit. Penggunaan topi juga berlaku bagi pasukan/prajurit negara seperti TNI (AD, AL, AU) dan juga Polri dengan kekhasannya masing-masing.

Topi juga digunakan oleh anak-anak murid dalam proses belajar di sekolah. Entahlah, apakah pemakaian topi itu dimaksudkan agar kepala terlindung dari terpaan angin atau sengatan teriknya sinar matahari, atau sekadar aksesori kepala? Tapi, apakah penggunaan penutup kepala oleh para uskup, pendeta, atau para kaum  muslimin/muslimat itu sekadar aksesori kepala, atau justru ada nilai lain yang lebih bermakna di balik penutup kepala dimaksud?

Bagi penulis, penggunaan penutup kepala adalah simbol penjaga fungsi-fungsi yang ada di kepala (isi kepala), seperti; otak/pikiran, mata, hidung, telinga dan mulut) untuk fungsional pada hal-hal yang berguna dan mencerahkan bagi kehidupan.

Selain itu, penutup kepala juga merupakan simbol pengekang fungsi-fungsi isi kepala dimaksud terhadap hal-hal yang dilihat/didengar/diendus dari luar diri yang tidak baik dan tidak manfaat. Karena, semua hal itu secara simultan akan memengaruhi keseimbangan gerak kerja dari fungsi-fungsi yang ada di dalam rongga dada dan perut, seperti: jantung, hati, empedu, paru-paru, lambung, usus halus, ginjal dan lainnya dalam kolompok dasa-aksara suci dalam buana alit.

Baca juga:  Politisasi Simbol Agama Rusak Peradaban Bangsa 

Di Indonesia, penutup kepala dimaksud sudah menjadi seni/budaya busana di kepala dengan bemacam-macam istilah seperti peci, belangkon, udeng/destar, dan istilah lainnya untuk tutup kepala bagi pria. Bahkan, peci (warna hitam) sudah menjadi penutup kepala resmi nasional, dipakai oleh pria pada acara-acara resmi ASN, seperti; pada upacara hari kemerdekaan RI, dan atau pada pelantikan/pengambilan sumpah jabatan dalam pemerintahan.

Sedangkan penutup kepala bagi wanita, yang juga memiliki beberapa sebutan seperti:  kerudung/jilbab, tengkuluk, dan lainnya, bermakna sama seperti penggunaan topi tersebut di atas. Kalaupun wanita tidak memakai penutup di kepalanya karena sesuatu dan lain hal seperti misalnya saat harus nyunggi bakul, atau saat wanita Bali harus nyunggi banten untuk maturan ke pura atau upacara lainnya yang tidak memungkinkan menggunakan penutup kepala dimaksud. Dan, sepertinya, budaya penggunaan penutup kepala berupa tengkuluk bagi wanita, hal itu dibuat fleksibel, sesuai desa kala patra, kemudian diperkenalkan sebagai tengkuluk lelunakan.

Baca juga:  Politik Kebohongan Hancurkan Pembohongnya

Walau demikian, wanita yang pada umumnya memelihara rambut panjang wajib mengikat rambutnya atau dikonde dan atau di-pusung dalam istilah Bali-nya agar tidak tergerai, magambahan. Ikatan rambut seperti itu juga sebagai simbol pengekang/pengendali isi kepala terhadap hal-hal yang tidak berkenan dengan diri.

Menurut mitosnya, jika wanita membiarkan rambutnya tergerai magambahan, adalah pertanda wanita itu sedang dalam kemarahan, kebencian, dan dendam, karena kewanitaannya dilecehkan oleh orang lain. Seperti dalam Epos Mahabarata, Drupadi bersumpah membiarkan rambutnya terus tergerai magambahan selama belum dibasuh dengan darahnya Dursasana yang sudah melecehkannya.

Dan sepertinya, penutup kepala berpasangan dengan ikat pinggang, atau penutup kepala dan ikat pinggang merupakan dua hal yang tak terpisahkan satu sama lain sebagai simbol yang bermakna saling memperkuat dan saling mengingatkan. Pemakaian pengikat di pinggang tentu tidak dimaksudkan sekadar agar kain penutup “aurat” diri tidak melorot, sehingga hal-hal yang ada pada diri yang tidak patut dilihat oleh orang lain, atau hal-hal membuat keadaan diri menjadi tidak senonoh, tidak terjadi.

Baca juga:  Martabat Budaya dan Pariwisata Bali

Tapi, bagi penulis, ikat pinggang juga bermakna simbol penjaga nilai-nilai yang ada di dalam rongga dada dan perut dimaksud di atas. Dalam busana adat Bali, pengikat di pinggang menggunakan selendang yang disebut anteng untuk wanita dan disebut selempod untuk pria.

Pesan universal di balik penggunaan penutup kepala dan ikat penggang dimaksud pada hakikatnya untuk kita senantiasa menjaga kemuliaan isi kepala serta isi rongga dada dan perut, agar jiwa raga kita selalu sehat baik medis maupun nonmedis. Hal itu terdeklarasikan oleh gerakan sehat menggairahkan dari anggota tubuh, yakni: kaki dan tangan kita yang cekatan, lincah mencerahkan.

Penulis, pemerhati budaya dan masalah sosial

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *