Ilustrasi. (BP/ist)

Korupsi ada sejak manusia ini hidup di dunia ini. Orang Bali menyebut semasih ada rwa bhineda, selama itu pula ada kebaikan dan kejahatan. Makanya diturunkan ajaran agama agar hidup manusia teratur dan beradab.

Pada zaman penjajahan, korupsi juga merajalela. Para pejabat tinggi banyak korupsi biaya perang dll. Demikian juga pada zaman kerajaan pejabat yang berada di lingkaran raja ada juga oknum korup. Hanya, objek korupsinya berbeda yakni pengumpulan hasil bumi dan suwinih.

Kini, pada zaman modern objek korupsi makin banyak variannya. Pada era Soeharto yang menikmati korupsi terbanyak adalah konco-konco-nya. Namun kini, korupsi sudah sampai ke lembaga legislatif dan yudikatif. Banyak yang kecele, pada era reformasi diperkirakan kasus korupsi makin kecil, tapi ternyata tidak.

Baca juga:  Hakim Dissenting Opinion dalam Vonis LPD Kekeran

Justru korupsi makin menggurita. Kita sering membaca adanya perselingkuhan para pejabat pemerintahan hingga aparatur daerah lokal manipulasi laporan keuangan. Bisa juga korupsi dilakukan melalui perdagangan gelap, perilaku kolusi para pejabat pemerintah dan penyelewengan gelontoran kredit dari pemerintah oleh para kreditur.

Korupsi juga bisa dalam bentuk otoritarisasi BUMN-BUMN oleh penguasa, penyaluran dana APBN kepada yayasan-yayasan gelap yang dikendalikan oknum penguasa, pengusaha dan pihak-pihak yang dekat dengan penguasa, intransparasi dan manipulasi nota keuangan negara dan penguasaan proyek-proyek raksasa hingga proyek yang bernilai biasa. Kini, pelaku mengadopsi dari berbagai model dan cara korupsi dari era kuno (masa kerajaan) hingga terciptanya modus-modus operandi baru yang tidak terduga.

Ada yang membagi korupsi menjadi dua yakni korupsi terang-terangan dan korupsi terselubung. Yang terang-terangan berupa suap dan manipulasi keuangan negara. Sedangkan yang terselubung melalui tangan orang lain dan atau berupa penghalusan dengan kata lain bermain cantik.

Baca juga:  Beredar Isu SP3 Kasus KPU, Jaksa Tegaskan Itu Tidak Benar

Contoh yang terakhir ini banyak dilakukan di Bali. Seperti mengorbankan staf biasa menjadi tersangka dan terpidana sementara kelompok lain yang lebih besar main mata agar yang bersangkutan dihukum seringan-ringannya. Ini yang sering disebut korupsi bermain cantik. Namun, apa pun namanya tetap disebut korupsi.

Untuk pencegahan korupsi perlu dilakukan beberapa hal. Yaitu memperkuat sinergitas para aparat penegak hukum, penyelenggaraan unit-unit lembaga KPK hingga ke tingkat daerah, serta memperkuat pengawasan-pengawasan unit kerja pemerintah dan DPR oleh segenap aparatur penegak hukum. Juga memperberat muatan hukuman kepada para pelaku terpidana korupsi untuk menimbulkan efek jera yang mendalam kepada segenap elemen pemerintah dan masyarakat.

Baca juga:  Kasus Dugaan Korupsi Bansos Provinsi Mengendap di Kejari

Selain itu, perlu dibentuk dan diperkuat unit-unit pengawasan di masing-masing lembaga penegak hukum. Termasuk yang mengawasi penegak hukum. Hakim tak boleh menerima suap. Itu harga mati. Yang paling penting lagi adalah adanya upaya bersama untuk memperkecil peluang menyalahgunakan wewenang dalam melakukan tindak pidana korupsi.

Membuat koruptor muskin adalah bagus, namun tetap tak bisa terwujud. Karena di tengah proses itu masih ada jalan korup untuk mendapatkan uang. Coba dihitung berapa koruptor yang kini hidupnya miskin? Ini sejalan dengan pepatah Bali seberag-berag gajahe (sekurus-kurusnya gajah tetap ada lemaknya). Itu mungkin sepadan dengan bahwa semiskin-miskin koruptor masih ada kekayaannya.

 

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *