Suasana saat watangan mebakar pada Pementasan Calonarang di Banjar Temuku Aya, Desa Tangguntiti, Kecamatan Selemadeg Timur, Tabanan, Selasa malam. (BP/bit)

TABANAN, BALIPOST.com – Pementasan Calonarang Pamurub Tattwa Ajian Geni Astra Watangan yang berisi aksi pembakaran mayat mampu menyedot perhatian ribuan masyarakat untuk datang menyaksikan langsung pementasan tersebut. Penonton mulai berdatangan sejak pukul 19.00 wita malam dari berbagai daerah untuk bisa melihat lebih dekat, Calonarang yang digelar Pasraman Cakra Ca Buana di banjar Temuku Aya, Desa Tangguntiti, Kecamatan Selemadeg Timur Selasa malam (24/4).

Tepat pukul 01.00 wita, proses watangan mulai dibakar. Diawali pengarakan Bangke Matah (mayat) dari perempatan selatan Pasraman Cakra Ca Buana dengan jarak dari lokasi sekitar 200 meter. Dan yang menjadi bangke matah yakni I Ketut Suwitna (45), siswa dan ketua Pasraman Cakra Ca Buana.

Sebelum dibakar, watangan tersebut dimandikan dan diberikan perlengkapan upakara, sembari Guru Pasraman Cakra Ca Buana melakukan prosesi mengundang leak. Setelah proses tersebut selesai bangke matah tersebut selanjutnya ditutup dengan kereb yang sudah berisi rerajahan. Selanjutnya watangan disiram dengan bensin dan dibakar.

Baca juga:  Bupati Jembrana Tolak Joged Porno Pentas di Jembrana

Sekitar lebih dari lima menit, watangan dibakar, dan yang membuat penonton takjub setelah dibakar watangan Ketut Suwitna berhasil selamat, bahkan tanpa luka bakar sedikit pun.

Usai upacara tersebut, Ketut Suwitna pun dibangunkan dari tidur alam bawah sadar oleh Guru Nabe Guru Pasraman Cakra Ca Buana I Bagus Putu Budi Adnya.

Ditemui usai pementasan, Ketut Suwitna mengaku jika dirinya tidak merasakan sakit apapun bahkan kondisi badan normal. Meski demikian ia mengaku sempat merasa sedikit panas pada tangan kiri diawal ketika disulutkan api, namun hanya beberapa detik. Namun begitu diyakini kembali rasa panas tersebut hilang.

“Saya tidak merasakan apa-apa, hanya merasa badan sulit bergerak, masih merasakan nafas hanya tidak bisa berbuat apa,” ucapnya.

Bagi Suwitna, saat itu yang ada dalam pikirannya hanya keyakinan dan pasrah. Karena dengan dasar keyakinan yang dimiliki, otomatis semua akan berhasil dengan baik. “Banyak doa untuk saya, sehingga semua bisa berjalan lancar,” katanya.

Baca juga:  Dihujat Karena Perlihatkan Alat Kontrasepsi di Pura Samuantiga, Pelaku Dituntut "Ngaturang Guru Piduka"

Bagi Suwitna menjadi bangke matah dalam pementasan Calonarang yang cukup ekstrem ini tidak ada ritual khusus yang dijalaninya. Dirinya hanya kerap melakukan persembahyangan serta  belajar Tattwa Ajian Geni Astra sejak 3 bulan sebelumnya. Bahkan sebelum pementasan, gangguan sudah sering muncul mulai dari sakit, namun bisa diatasinya dengan baik. Ia pun mengatakan, pementasan ini bukan menunjukkan dirinya sebagai paling sakti, melainkan hanya ingin menampilkan pementasan Calonarang yang sedikit berbeda, serta ingin mengajegkan budaya Bali dan menghibur para pecinta Calonarang.

Suwitna mengakui, ia menyepakati menjadi pemeran bangke matah watangan mebakar karena niat dan kemauanya sendiri. Dan niatnya tersebut mendapat dukungan keluarga, pasraman dan para penglingsir. “Saya ingin menampilkan pementasan Calonarang yang berbeda,” ucapnya.

Sementara itu, Guru Pasraman Cakra Ca Buana, I Bagus Putu Budi Adnya mengakui sempat merasa was was ketika proses watangan  dibakar. Pasalnya, saat watangan sempat dipegangnya, masih merasa hangat. “Semua kembali pada anugerah Tuhan dan sudah bisa berjalan lancar,” imbuhnya.

Baca juga:  Kisah Perjalanan Institut Seni di Ufuk Timur Indonesia Dipentaskan

pementasan ini lanjut dikatakannya menerapkan ajaran kawisesan 50 persen, dan 50 persen kreatifitas. Sebelum dibakar watangan diarak, Ini intinya memberikan sugesti sang pemeran watangan dibuat masuk ke alam bawah sadar alias ditidurkan. “Memang awalnya ada pengarakan intinya membuat tidur kealam bawah sadar,” tuturnya.

Melalui pementasan ini Budi Adnya menginginkan adanya perhatian dari Pemerintah kepada seniman kecil dalam mengajegkan Budaya Bali. Agar nantinya bisa menghidupkan aura Calonarang. Bahkan menghidupkan pamor leak tetapi untuk kebaikan bukan untuk menyakiti teman. “Karena jika Bali tanpa leak, maka taksu Bali itu tidak ada, sebab leak itu ada dalam ajaran sastra,” tandasnya.

Melihat antusias penonton, ia pun berharap bisa memberikan pementasan terbaik lainnya. (puspawati/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *