DENPASAR, BALIPOST.com – Tak ada yang tahu sampai kapan bencana Gunung Agung berakhir. Anak-anak yang mengungsi tentu dikhawatirkan akan mengalami gangguan psikologis maupun dilanda kebosanan.

Namun sejauh ini, kondisi itu tidak terjadi. “Berdasarkan hasil observasi saya selama tiga hari di Klungkung, Karangasem, Tembok Buleleng, anak semua terakomodasi. Banyak lembaga yang menghibur, mengajak bermain,” ungkap Kepala Bagian/SMF Psikiatri RSUP Sanglah, dr. AA Sri Wahyuni, Sp. KJ., Jumat (27/10).

LSM,  lembaga dan berbagai pihak datang mengajak bermain games bahkan menyediakan hadiah untuk pemenang. Hal itu membuat anak-anak senang dan tidak bosan.

Anak-anak pengungsi juga dapat bermain dengan sesama anak pengungsi, karena saling mengenal. “Karena biasanya mereka mengungsi per banjar dan berkelompok jadi sudah saling mengenal,” sebutnya.

Baca juga:  Korban Jiwa COVID-19 Bali Tambah, Puluhan Pasien Dilaporkan Sembuh

Tidak ada anak yang ketakutan dan mengalami gangguan tidur. Gangguan tersebut justru kebanyakan dialami para orang tua. Karena berpikir padi yang hampir panen, hewan ternaknya. Itu mendorong pengungsi kembali pulang di siang hari. Saat siang, warga pengungsi pulang untuk mengecek ladang dan ternak. Hanya ada perempuan usia lanjut dan anak-anak di pengungsian.

Hal itu menyebabkan anak-anak serasa camping. Ibu-ibu tetap melakukan aktivitasnya memasak, menjaga anak, mencuci baju. Bahkan disediakan tempat mesin cuci umum. “Tidak ada yang mengalami gangguan tidur dan penyesuaian karena tidak ada bencananya. Yang berubah, tempat tinggal mereka jadi lebih tidak nyaman tapi lebih banyak bermain,” tandasnya.

Baca juga:  Aktivitas Gunung Agung Masih Tinggi, Dua Kali Terjadi Erupsi

Pemberdayaan ibu-ibu juga sudah ada, hanya saja bahan baku masih kurang. Anak-anak juga dapat melanjutkan sekolah di tempat mengungsi. Sekolah yang setara dengan sekolah mereka sebelumnya. Sehingga mereka mudah menyesuaikan dengan sekolah baru dan teman baru. Belajar mereka pun menjadi nyaman.

Di malam hari ketika anak-anak belajar, membutuhkan tempat belajar yang representatif serta meja lipat kecil, agar anak tidak membungkuk saat belajar. “Yang diperlukan bagaimana disiapkan tenda khusus untuk belajar dan pembimbingnya seperti ada guru les, karena terdiri dari banyak orang sehingga akan terganggu,” imbuhnya.

Dari semua aktivitas pengungsian, yang perlu mendapat pengawasan adalah anak-anak remaja perempuan dan laki-laki, karena ada yang setenda. Orang tua perlu mengawasi anak-anaknya agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan, baik kekerasan seksual atau pelecehan seksual. “Karena ada satu kasus, bukan anak-anak sih, trauma karena pernah mengalami kekerasan seksual, kebetulan setenda. Tapi sekarang sudah diakomodasi dan sudah dipindah,” ungkapnya.

Baca juga:  Ratusan Warga Badung Meninggal Akibat COVID-19

Anak-anak dan remaja itu tidur di tenda atau wantilan berkelompok dengan keluarga lainnya. Ada perempuan dan laki-laki baur menjadi satu.

Sementara pasangan suami istri dengan sekian lama di tenda juga memiliki kebutuhan biologis yang perlu diakomodasi. “Ini perlu diantisipasi karena tidak terbatas waktu sampai kapan di sana. Sedangkan dorongan biologis tetap berjalan, seminggu atau sebulan,” tuturnya.

Ia berharap jangan sampai ada korban kekerasan seksual. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *