Tahura ngurah rai
Seorang nelayan menyusuri hutan mangrove usai mencari ikan di Teluk Benoa. (BP/eka)
DENPASAR, BALIPOST.com – Keberadaan hutan mangrove di Bali yang berpagar rakyat, tak akan lepas dari adanya gangguan. Baik berupa penyerobotan kawasan hutan, alih fungsi, maupun pencemaran.

Gangguan-gangguan itu utamanya sangat terlihat di kawasan hutan Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai. Terlebih dari keseluruhan hutan mangrove yang dimiliki pulau dewata, dominan memang berada di kawasan itu. “Memang, secara umum itu mengalami beberapa gangguan terutama yang berada di Tahura Ngurah Rai. Sedangkan di kabupaten lain seperti Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Jembrana dan Buleleng sedikit lebih aman posisinya,” ujar Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Bali, I Gede Nyoman Wiranatha di Denpasar, belum lama ini.

Wiranatha mengakui, manusia sangat kuat menekan hutan mangrove di Tahura. Utamanya berupa penyerobotan, alih fungsi lahan, serta pencemaran-pencemaran dari sampah atau residu-residu bahan kimia lainnya yang dibawa oleh sungai-sungai yang bermuara di Tahura Ngurah Rai. Kendati sudah dilakukan upaya penertiban, toh penyerobotan masih saja terjadi bahkan jumlahnya meningkat tajam.

Baca juga:  Bali Masih Perlu Ditanami Mangrove
“Adanya penyerobotan itu kendalanya dari masyarakat sekitar. Terus terang hutan itu kan berpagar rakyat, ya tergantung dari perilaku masyarakat bagaimana keberadaan hutan itu sendiri. Memang sosialisasi, imbauan, ajakan, sudah sering kita lakukan tetapi tetap berulang kembali pada perilaku manusia yang ada di sekitar,” paparnya.

Dari catatan Dinas Kehutanan tahun 2015, hanya ada 16 pensertifikatan di kawasan hutan seluas 3,340 Ha. Namun kini telah berkembang menjadi 54 sertifikat yang tumpang tindih dengan kawasan hutan seluas 19.853 m2 per September 2016.

“Memang secara bertahap kita sudah lakukan proses hukum, seluruh pelanggaran, seluruh kegiatan, aktivitas di Tahura Ngurah Rai yang tidak sesuai dengan ketentuan yang ada, itu dilaporkan atau kerjasama dengan Polda Bali untuk menyikapi apabila tidak mengindahkan peringatan-peringatan yang kita lakukan,” jelasnya.

Bila menyangkut sampah dan pencemaran, lanjut Wiranatha, Dinas Kehutanan berkoordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Bali dan Dinas PUPR Provinsi Bali. Penanganan dilakukan secara menyeluruh dari hulu. Mengingat, ada 3 sungai besar yang bermuara di Tahura Ngurah Rai. Selain dinas terkait di provinsi, masalah tersebut juga dikoordinasikan dengan instansi terkait di kabupaten Badung dan kota Denpasar. “Mungkin sudah masing-masing memprogramkan bagaimana penanganan kedepan,” tandasnya.

Data Dinas Kehutanan Provinsi Bali, kawasan hutan mangrove di Bali seluas 2.071,49 Ha. Sementara di luar kawasan hutan, tercatat ada hutan mangrove seluas 890,4 Ha. Hutan mangrove di dalam kawasan hutan tersebar di kawasan Hutan Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai seluas 1.373,5 Ha, Hutan Lindung Nusa Lembongan seluas 202 Ha, Hutan Produksi Budeng seluas 66,99 Ha, dan kawasan Hutan Taman Nasional Bali Barat seluas 429 Ha. Rata-rata kondisi mangrove bagus, kecuali di Tahura Ngurah Rai terdapat kondisi kritis kurang lebih 10%.

Dinas mengklasifikasi empat permasalahan di Tahura Ngurah Rai. Pertama, gangguan keamanan hutan berupa perambahan kawasan hutan yang tersebar mulai dari Desa Sanur Kauh sampai Tanjung Benoa dan persertifikatan di kawasan hutan.

Permasalahan kedua, yakni pencemaran kawasan akibat pembuangan sampah, limbah sisa beton, sisa pembuatan galangan kapal (fiber glass), limbah industry ayam potong, dan limbah pembuangan pabrik pengolahan ikan. Ketiga, tumpang tindih kawasan hutan dengan PT. Pelindo III (Persero), dan keempat, kerusakan hutan lantaran di dalam kawasan ada perairan yang sulit ditumbuhi mangrove. (Rindra/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *