Ketua PHRI Hariyadi BS Sukamdani (kiri), Gubernur Bali Wayan Koster (tengah), Ketua PHRI Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati (kanan). (BP/wid)

DENPASAR, BALIPOST.com – Akomodasi pariwisata, khususnya vila dan hotel di Bali saat ini tengah mengalami persaingan dengan akomodasi tak berizin yang disewakan dengan harga murah. Selain itu, situasi ini juga berpengaruh terhadap hilangnya potensi pendapatan asli daerah (PAD). Keberadaan teknologi digital, dalam hal ini online travel agen (OTA) menjadi boomerang.

Di satu sisi memudahkan wisatawan mencari akomodasi, namun di sisi lain membuat Pemda kecolongan dengan banyaknya akomodasi tak berizin yang tidak membayar pajak ke daerah yang masuk dalam aplikasi tersebut.

Terutama Airbnb yang menyewakan puluhan ribu akomodasi kecil yang tidak berijin. Dengan demikian ada usulan untuk menekan pengoperasian Airbnb atau bahkan distop.

Hal tersebut terungkap pada Musda ke-15 Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali yang berlangsung di Sanur, Rabu (3/12).

Baca juga:  Usaha Garam Tradisional Buleleng, Bertahan Meski Bantuan Pemerintah Distop

Dalam kesempatan tersebut, Ketua PHRI Hariyadi BS Sukamdani mengatakan, akomodasi yang berizin mayoritas dimiliki pengusaha lokal. Sementara yang tidak berizian banyak dimiliki warga negara asing (WNA).

Kebanyakan akomodasi yang tidak berizin tersebut menggunakan sistem sharing ekonomi melalui Airbnb dan akomodasi yang dijual bukan dalam kaidah akomodasi pariwisata yang sebenarnya.

Ia membandingkan dengan kondisi pariwisata dan akomodasinya di Singapura. Dimana kedatangan wisatawan stagnan, namun mampu menjaga okupasi tetap tinggi berkisar rata-rata 78 persen dengan harga kamar yang cukup tinggi. “Saya sempat bertemu dengan asosiasi hotel di Singapura menanyakan sistem prawisata di sana,” ungkapnya.

Di Singapura sendiri, kata dia, menahan pergerakan Airbnb dan mengembalikan regulasi yang ada. Wisatawan yang menginap harian harus menggunakan akomodasi pariwisata yang berizin. Sementara untuk penyewaan apartemen diwajibkan tinggal lama dengan sistem kontrak minimal 3 bulan.

Baca juga:  Molor dari Jadwal, Aksi Tolak Omnibus Law Belum Juga Digelar

“Di sini pemilik apartemen akan melaporkan kepada pemerintah jika ada tetangganya yang menerima sewa harian,” terangnya.

Dikonfirmasi terkait kebijakan di Singapura jika diterapkan di Bali, Gubernur Bali Wayan Koster mengatakan, Airbnb akan dikaji dan akan diajukan untuk distop. Pihaknya mengaku harus bisa mengatur pariwista Bali dengan sistem seperti di Singapura. “Harus bisa mengatur wilayah dan tentu saja harus persetujuan pemerintah pusat,” katanya.

Dia pun mengakui banyak fenomena di Bali saat ini yang rumah milik penduduk lokal dikontrakkan lalu disewakan ke orang asing dengan harga murah. Hal ini tentu merugikan karena penyewaan yang dilakukan tersebut tidak memiliki izin dan tidak membayar pajak. “Kan kasian hotel yang berizin yang bayar pajak harus berhadapan dengan penginapan yang tidak bayar pajak,” terang Koster.

Baca juga:  Padi di Subak Pangkung Gondang Diserang Keong

Saat ini pendataan terhadap akomodasi tidak berizin tersebut sudah berjalan. Demikian juga dia mengatakan, tidak saja Airnbn, OTA lainnya juga akan diminta untuk hanya menjual akomodasi yang berizin resmi.

Sementara itu, Ketua PHRI Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati mengatakan, situasi di Bali dari puluhan ribu usaha akomodasi pariwisata, hanya 330-an akomodasi yang terdaftar menjadi anggota PHRI. Akomodasi yang tidak berizin tentu akan merugikan akomodasi legal dan Pemda. Hal tersebut dikarenakan peningkatan kunjungan wisatawan ke Bali tidak linier dengan penerimaan PAD oleh kabupaten/kota. (Widiastuti/bisnisbali)

 

BAGIKAN