Seorang petani membajak sawah di tengah makin meningkatnya alih fungsi lahan pertanian. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pemerintah Provinsi Bali mengajukan rancangan peraturan daerah (Ranperda) baru menyasar maraknya alih fungsi lahan produktif lewat praktik kepemilikan tanah secara nomine, menggunakan warga lokal sebagai “nama pinjaman.”

Dalam Rapat Paripurna DPRD Bali, Senin (1/12), Gubernur Bali Wayan Koster menegaskan bahwa lahan produktif Bali kini berada dalam tekanan serius. “Jika tidak dikendalikan, ini akan mengancam kedaulatan pangan, merusak subak, dan membuka jalan pada ketimpangan penguasaan tanah,” ujarnya.

Koster menyebut praktik kepemilikan tanah secara nomine, menggunakan warga lokal sebagai “nama pinjaman,” kian massif terjadi.

“Praktik ini melemahkan kedaulatan agraria dan membuka celah spekulasi serta monopoli,” katanya.

Baca juga:  Sebulan Diungkap, Kasus Selebgram Jakarta Belum Juga Masuk Kejaksaan

Ranperda tersebut, ujarnya, akan memastikan perlindungan lahan pertanian, menutup celah nomine, serta memperkuat pengawasan agraria.

Sebelumnya, Ketua Pansus Tata Ruang, Aset, dan Perizinan (TRAP) DPRD Bali, I Made Supartha juga menyoroti kondisi ini. Menurutnya, persoalan pertanahan Bali makin pelik karena Bali sebagai destinasi wisata dunia menjadi rebutan pemodal besar dari luar Bali.

Arus modal besar baik yang bersumber dari dana legal maupun “ilegal” membuat Bali seolah dapat “dibeli” tanpa kendali. Padahal, regulasi nasional telah mengatur secara tegas larangan kepemilikan tanah oleh orang asing melalui Undang-Undang Pokok Agraria maupun ketentuan penanaman modal asing (PMA).

Namun, PMA menghalalkan segala cara untuk bisa mendapatkan tanah di Bali. Ada dengan cara nominee dan sebagainya yang kerap dimanfaatkan untuk menyiasati celah regulasi.

Baca juga:  Pria Asal Buleleng Jadi Jasad ke-11 Teridentifikasi

Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Bali ini mengungkapkan alih fungsi lahan produktif di Bali meluas setelah pandemi. Bahkan, ada satu pengusaha bisa menguasai lahan hingga ratusan hektar. Padahal mekanisme pengendalian telah diatur melalui UU Nomor 41 Tahun 2009 dan PP Nomor 1 Tahun 2011.

Fenomena itu, menurutnya, dipicu cara pikir pemilik modal yang hanya mengejar keuntungan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan ruang. Sikap pragmatis inilah yang mendorong eksploitasi ruang Bali tanpa memperhitungkan lingkungan maupun masa depan.

Baca juga:  Tiga Daerah Bantu BKK untuk 6 Kabupaten di Bali

Ke depan, Supartha menegaskan Pansus TRAP akan terus menjalankan kewenangannya untuk memastikan tata ruang dan perizinan tidak boleh dikuasai oleh kepentingan tertentu. Ia menekankan perlunya keseragaman persepsi antara aparat, penegak hukum, pemerintah, dan masyarakat agar pelanggaran bisa ditangani tegas.

Sementara itu, Gubernur Koster menegaskan komitmen Pemerintah Provinsi untuk menahan laju hilangnya lahan produktif. Ia sudah merancang peraturan daerah (perda) untuk pengendalian alih fungsi lahan produktif untuk kepentingan komersial dan pariwisata.

Sebab, setiap tahun sekitar 600 hingga 700 hektar lahan produktif mengalami alih fungsi. Laju ini jika tidak dihentikan akan menurunkan ketahanan pangan Bali secara drastis. (Dewa Sanjaya/denpost)

BAGIKAN