
DENPASAR, BALIPOST.com – Koalisi Advokasi Bali untuk Demokrasi menyoroti adanya upaya membatasi penyampaian aspirasi. Salah satu indikasinya adalah adanya pelanggaran HAM, hukum, dan prosedural dalam proses penetapan tersangka demo ricuh pada 31 Agustus 2025.
Untuk itu, Koalisi mengajukan 5 tuntutan yang disampaikan pada Rabu (12/11).
Pertama, Pemerintah RI untuk menjamin kebebasan berekspresi di Indonesia pada umumnya, dan Bali pada khususnya, serta menghentikan praktik kekerasan terhadap warga yang menyuarakan pendapat.
Kedua, Kejaksaan dan Pengadilan Negeri Denpasar juga diminta segera menghentikan proses hukum dan membebaskan seluruh massa aksi solidaritas Bali yang menjadi korban pelanggaran HAM oleh aparat kepolisian.
Ketiga, Kapolda Bali juga didesak segera mengusut anggota Polri yang terlibat dalam penyiksaan dan pelanggaran prosedur hukum.
Keempat, Komnas HAM dan Kompolnas RI agar melakukan investigasi independen serta pemeriksaan komprehensif terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat kepolisian di Bali.
Kelima, Kementerian Pendidikan dan Pemerintah Daerah Bali juga diminta memastikan pemulihan psikologis dan menjamin hak atas pendidikan bagi massa aksi yang masih berstatus pelajar.
Selain penyampaian tuntutan, kuasa hukum terdakwa dari Koalisi Advokasi Bali untuk Demokrasi, Ignatius Rhadite didampingi Made “Ariel” Suardana, dkk mengatakan salah satu terdakwa demonstrasi ricuh di Mapolda Bali dan DPRD Bali pada 31 Agustus 2025, Fairuz Iman segera disidang di Pengadilan Negeri Denpasar.
“Saya lihat di sistem informasi pengadilan, jadwal sidangnya Kamis besok,” ucap Ignatius.
Ia mengatakan pascakericuhan, polisi menetapkan 14 orang tersangka, dan empat orang masih di bawah umur (pelajar).
Mereka meminta hukum jangan dijadikan alat kekuasaan. Para tersangka (lima orang didampingi Koalisi Advokasi Bali untuk Demokrasi) bukanlah penjahat. Mereka bukan koruptor. Mereka bukan kriminal, mereka bukan memberontak.
“Namun ribuan masyarakat menyampaikan aspirasi atas respons terhadap penyelenggaraan negara. Ini sebagai bentuk kekecewaan masyarakat,” jelasnya.
Ignatius menyatakan ada indikasi pelanggaran hukum, HAM, dan prosedural yang dilakukan oleh aparat kepolisian, mulai dari penangkapan hingga proses pemeriksaan di Polda Bali.
Lebih lanjut dijelaskan, pelanggaran yang dimaksud ada penggunaan gas air mata secara membabi buta. Pelanggaran lainnya, ada ratusan barang/aset demonstrasi yang disita polisi, seperti ponsel, kendaraan, dan dompet.
“Mirisnya, ada yang sudah dilepas, namun ponsel mereka tidak dikembalikan,” sebutnya didampingi perwakilan orangtua tersangka.
Mereka juga kecewa dengan adanya penyedotan data pada barang elektronik sehingga ini melanggar privasi karena data pribadi mesti dilindungi. “Menurut kami, mestinya penyitaan ada izin dari pihak pengadilan,” jelasnya kembali. (Miasa/balipost)










