
DENPASAR, BALIPOST.com – Berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024, angka stunting Denpasar mencapai 10,8 persen.
Angka tersebut turun menjadi 10,4 persen namun tidak signifikan. Sementara berdasarkan penimbangan riil yang dilakukan Dinkes Denpasar, angka stunting Denpasar hanya 2 persen.
Kepala Dinas Kesehatan Denpasar dr. A.A. Ayu Agung Candrawati ditemui saat pengukuran serentak di Banjar Tanjung, Desa Sanur Kauh, Sabtu (8/11) mengatakan, pengukuran serentak merupakan instruksi Dinkes Bali.
“Karena hasil survei SSGI kemarin, Denpasar, angka stunting masih tinggi. Tahun sebelumnya 10,8 persen dan tahun ini 10,4 persen, ada penurunan tapi tidak signifikan. Maka dari itulah kita ingin memastikan, apakah memang benar angka stunting Kota Denpasar setinggi itu?” katanya.
Karena, lanjut Candrawati, dari hasil riil penimbangan yang pihaknya lakukan, didapatkan angka 2 persen dengan aplikasi e- PPGM (elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat).
Pengukuran baru dilakukan pada 4.400 balita yang ditimbang. Hasilnya, ditemukan kasus stunting 13 balita. Jika dihitung 13 bagi 4.400 balita yang ditimbang, angka stunting hanya sekitar 0,2 persen.
“Jauh sekali dari angka SSGI. Mudah-mudahan setelah semua lengkap diukur, kita tahu riilnya stunting di Denpasar karena survei kemarin dilakukan berdasarkan sampel estimasi jadi belum mencerminkan keseluruhan,” ujarnya.
Untuk mendapatkan angka riil, maka dilakukan posyandu serentak sekaligus untum memastikan data riil di Kota Denpasar. Pelaksanaan pengukuran serentak dilakukan selama dua minggu, setelah iitu baru dilakukan penghitungan stunting.
Sementara target sasaran balita yang diukur ada sekitar 18.000-20.000 balita di Denpasar berdasarkan data Agustus 2025. Data bisa berfluktuasi karena usia balita bisa berubah.
Wali Kota Denpasar I Gusti Ngurah Jaya Negara mengatakan, dalam penanganan stunting memang tidak melihat berdasarkan KTP. Namun demikian, berdasarkan contoh kasus di Desa Sanur Kauh ditemukan 10 kasus stunting, 7 di antaranya merupakan pendatang.
“Tapi kita harus layani karena itu anak-anak kita. Namun jika dia sudah terdata, tercatat di Kota Denpasar, maka kita harus tangani,” ujarnya.
Untuk itu ia akan membuat terobosan untuk mencegah stunting dari tingkat desa dengan menggunakan dana bagi hasil pajak dan retribusi. Karena kendala selama ini yang dialami adalah, penanganan dan pencegahan stunting dengan menggunakan dana desa tidak bisa dilakukan untuk warga non KTP Denpasar
“Maka dari itu kita minta desa selesaikan masalah stunting tidak melihat berdasarkan KTP Denpasar atau non Denpasar dengan BHPR. Kita berharap dengan pola intervensi seperti itu kita bisa lebih banyak mencegah,” ujarnya
Sementara Pemberian Makanan Tambahan (PMT) memungkinkan menggunakan dana desa baik untuk KTP Denpasar atau non Denpasar. Diharapkan dengan PMT ini dapat mencegah stunting.
“Kita punya kewajiban merawat anak itu walaupun bukan KTP Denpasar jadi kami akan usulkan inovasi daerah dengan memanfaatkan dana bagi hasil pajak, nanti akan dimanfaatkan melalui suatu regulasi sehingga desa bisa membantu walau tidak KTP Denpasar karena kita ingin menyelematankan anak yang merupakan aset bangsa ini,” ujarnya. (Citta Maya/balipost)










