
JAKARTA, BALIPOST.com – Tata kelola royalti yang baru dipastikan tidak merugikan industri musik karena pemerintah berkomitmen memberikan perlindungan kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan pihak terkait.
Hal ini disampaikan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas dalam pidatonya saat audiensi terbuka bersama pelaku industri musik Indonesia di Graha Pengayoman, Kementerian Hukum, Jakarta, Jumat (31/10).
“Kalau ada yang bilang nanti dengan sistem tata kelola sekarang yang lagi diperbaiki, akan merugikan industri, itu salah besar. Tidak ada niat pemerintah untuk mencampuri. Saya pastikan tidak ada. Kewajiban pemerintah melindungi semuanya,” katanya dilansir dari Kantor Berita Antara.
Ia menjelaskan permasalahan tata kelola royalti selama ini bukan terletak pada para pelaku industri musik, melainkan ekosistem yang mengelolanya. Oleh sebab itu, semua pihak berkepentingan untuk memperbaiki tata kelola tersebut.
Menurut Menkum, prinsip yang diperlukan saat ini adalah transparansi. Berangkat dari itu, pemisahan kewenangan antara Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) menjadi langkah penting.
“Yang kami lakukan supaya LMK dan LMKN sebagai satu kesatuan ekosistem itu bisa saling mengawasi maka kami pisahkan siapa yang memungut royalti, siapa yang mendistribusi. Ini pasti akan terjadi check and balances di antara keduanya,” katanya.
Supratman menjelaskan saat ini, LMK tidak boleh lagi memungut royalti karena kewenangan itu sepenuhnya berada pada LMKN. Sementara itu, LMKN tidak boleh mendistribusikan langsung royalti yang dipungut kepada anggota LMK.
“Kepada seluruh teman-teman pencipta, pemegang hak cipta, dan pihak terkait, dalam hal ini label umpamanya, dengan pemisahan ini justru akan semakin baik karena nanti akan lebih transparan,” ujar Menkum.
Adapun Kementerian Hukum telah mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum (Permenkum) Nomor 27 Tahun 2025 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
Permenkum itu, di antaranya memperjelas tanggung jawab pembayaran royalti ada pada penyelenggara acara atau pemilik tempat usaha, bukan konsumen.
Selain itu, biaya operasional LMKN atau LMK dibatasi menjadi 8 persen dari total royalti yang ditarik. Dalam peraturan sebelumnya, biaya operasional ini mencapai 20 persen.
Bersamaan dengan sejumlah transformasi yang sedang dilakukan, Supratman menyatakan Kementerian Hukum sedang mempersiapkan revisi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
“Dalam Undang-Undang Hak Cipta yang akan datang, saya sudah minta kepada Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual dan semua pemangku kepentingan di ekosistem musik untuk memberi masukan terkait tata kelola royalti lewat lembaga manajemen kolektif,” ujarnya.
“Banyak usulan, ada rumusan-rumusan yang disampaikan, itu menjadi bagian dari upaya kita melakukan partisipasi publik untuk penyempurnaan rancangan undang-undang yang sementara masih dibahas di parlemen,” tambah Menkum. (kmb/balipost)










