
DENPASAR, BALIPOST.com – Panitia Khusus Tata Ruang, Aset, dan Perijinan (Pansus TRAP) DPRD Provinsi Bali, yang dipimpin langsung oleh Ketua Pansus TRAP DPRD Bali, I Made Supartha bersama I Gede Harja Hastawa, melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke kawasan hutan di Desa Pajarakan, Buleleng, Senin (13/10).
Sidak dilakukan untuk menindaklanjuti laporan masyarakat terkait penyimpangan pengelolaan lahan hutan negara seluas 700 hektare (Ha) yang diberikan kewenangan pengelolaannya kepada desa setempat.
Dalam sidak tersebut, Pansus TRAP DPRD Bali menemukan adanya 3 unit vila dan 1 restoran di atas lahan hutan, yang kemudian disewakan kepada pihak ketiga. Ironisnya, kerja sama pengelolaan tersebut dilakukan tanpa keterbukaan dan tanpa melibatkan masyarakat secara luas.
Kondisi ini menimbulkan kekecewaan dan dugaan adanya kepentingan kelompok tertentu yang lebih diuntungkan.
Made Supartha saat dikonfirmasi, Senin (13/10) malam, membeberkan hasil penelusuran tim Pansus TRAP. Ia menyebut banyaknya pelanggaran perizinan yang dilakukan manajemen.
Mulai dari tidak lengkapnya IMB, ABT, hingga dokumen lingkungan seperti UKL-UPL. Kondisi ini menegaskan bahwa pengelolaan lahan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan tata ruang dan perlindungan kawasan hutan.
Atas rekomendasi Pansus TRAP DPRD Bali, Satpol PP Kabupaten Buleleng langsung menutup sementara proyek tersebut hingga seluruh kewajiban dan izin terpenuhi.
“Kami tidak menolak kerja sama pengelolaan hutan, tapi harus transparan, adil, mensejahterakan masyarakat dan menjaga fungsi hutan dan sesuai aturan. Jangan sampai lahan milik negara justru disulap menjadi bisnis pribadi,” tegas Supartha.
Ketua Fraksi PDIP DPRD Bali ini menegaskan meski proyek telah ditutup, desa dan pengelola tetap memiliki kewajiban untuk menjaga dan mengelola hutan sesuai fungsinya sebagai kawasan hutan konservasi.
Dikatakan, Pansus TRAP DPRD Bali berkomitmen terus mengawal dan menertibkan pengelolaan lahan di seluruh wilayah Bali agar tidak terjadi alih fungsi lahan hutan secara ilegal dan penyalahgunaan aset negara yang merugikan masyarakat.
Menurut Supartha, tata ruang merupakan persoalan fundamental yang tidak hanya menyangkut penataan wilayah, tetapi juga kelestarian lingkungan dan kepastian hukum.
Ia menegaskan DPRD Bali memiliki komitmen kuat untuk memastikan setiap pembangunan di Bali dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku dan tidak merusak kawasan lindung.
Harja Astawa menambahkan tujuan utama Pansus adalah memastikan penataan ruang dan kegiatan pembangunan berjalan sesuai koridor hukum. Ia menyoroti adanya indikasi pembangunan tanpa koordinasi yang berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan.
Ia mengungkapkan, sempat terjadi perdebatan antara warga peduli lingkungan, pihak Dinas Kehutanan, serta perangkat desa terkait keberadaan bangunan vila di kawasan hutan. Dari hasil diskusi tersebut, ditemukan bahwa vila yang berdiri di kawasan Banjar Dinas Goris Kemiri itu belum memiliki izin lengkap.
“Fakta yang terungkap, bangunan vila yang didirikan di dalam hutan di Desa Pejarakan ternyata belum dilengkapi beberapa izin. Di antaranya izin ABT (Surat Izin Penggunaan Air Bawah Tanah) belum dipegang, tetapi sudah membuat ABT (mengambil air dari dalam tanah). Kemudian PBG (Persetujuan Bangunan Gedung) nya belum ada izin dari Dinas Perizinan yang menyampaikan persetujuan bangunan gedung, kemudian juga belum ada penelitian tata kelola landscape,” sebut Anggota Komisi I DPRD Bali.
Dengan temuan itu, Pansus mengambil langkah tegas menghentikan seluruh aktivitas pembangunan di lokasi hingga status izin dan legalitas vila tersebut jelas. “Ketua Pansus tegas mengambil tindakan untuk menyetop pembangunan vila tersebut sampai dengan adanya titik terang, karena masalah ini akan kami bahas, kami gali, dan kami perdalam di lembaga Pansus itu sendiri,” lanjut Ketua Fraksi Partai Gerindra ini.
Politikus asal Desa Temukus, Banjar Buleleng itu juga menuturkan, pembangunan di kawasan hutan tidak boleh menyalahi tujuan konservasi dan pemberdayaan lingkungan. Ia meminta masyarakat ikut aktif menjaga kelestarian kawasan hutan desa agar tidak berubah menjadi kawasan beton.
“Saya minta yang tandus itu wajib ditanami, bukan untuk alasan membangun bangunan beton. Kalau tidak kita menjaga lingkungan, siapa lagi? Ketika ada banjir yang menyelesaikan semua, tapi ketika untung yang merasakan cuma investor,” lanjutnya.
Pihaknya menegaskan Bali butuh investor yang baik, yang menjaga tradisi dan kearifan lokal, dan bisa memberikan dampak positif kepada kesejahteraan masyarakat.
“Ingat ya, kita bukan anti pembangunan. Saya minta masyarakat sekitar di sini pantau, kalau tidak hilang semua ini (jadi beton). Karena ini artinya negara sudah bergerak melalui Satpol PP. Kalau ada yang mengutus, kalau ada yang tidak menghiraukan pembangunan ini, dia sudah melanggar aturan. Izinnya bisa dicabut,” lanjutnya.
Dengan penyegelan vila tersebut, DPRD Bali berharap langkah ini menjadi peringatan sekaligus upaya bersama dalam menjaga tata kelola wilayah dan melindungi hutan desa dari aktivitas pembangunan yang tidak sesuai aturan.
Selain itu, Pansus TRAP juga menegaskan pentingnya sinergi antara pemerintah daerah, masyarakat, dan aparat penegak hukum untuk memastikan setiap kegiatan pembangunan di wilayah benar-benar memberi manfaat bagi warga tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan. (Ketut Winata/balipost)