
DENPASAR, BALIPOST.com – Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 dirancang lebih ekspansif dibanding APBN 2025. Target pendapatan yang lebih tinggi, belanja negara yang lebih besar, serta defisit yang relatif lebih luas.
Sebab pemerintah menaruh fokus lebih besar pada sektor-sektor strategis (ketahanan pangan, energi, transformasi ekonomi) di 2026, sebagai respons terhadap tantangan global dan keinginan memperkuat pondasi ekonomi dalam negeri.
Namun, keberhasilan 2026 sangat bergantung pada kemampuan pemerintah untuk merealisasikan pendapatan sesuai target, menjaga efisiensi belanja, dan menghadapi risiko eksternal.
Perbedaan nyata dari 2025 ke 2026 adalah pergeseran dari pengelolaan ketat dan efisiensi di 2025 ke investasi dan ekspansi strategis di 2026, dengan tetap berupaya menjaga kestabilan fiskal.
Analisis perbandingan
– Pada 2026, target pendapatan ditetapkan lebih tinggi dibandingkan 2025, menunjukkan optimisme pemerintah dalam mendorong penerimaan negara (pajak, PNBP).
– Belanja negara 2026 juga naik cukup signifikan dibanding 2025, sekitar kenaikan absolut ~Rp 221–222 triliun (atau sekitar +6 – 7 %) jika dibandingkan target 2025.
– Rasio defisit 2026 (setelah revisi) lebih tinggi dibanding target 2025, yang menunjukkan tantangan untuk menjaga keseimbangan fiskal ketika pemerintah ingin mendanai prioritas pembangunan.
Pemerintah juga memasang target bahwa pendapatan 2026 sebagai proporsi Produk Domestik Bruto (PDB) akan meningkat, dan belanja pun diarahkan agar tetap dalam rasio wajar terhadap PDB.
Asumsi Makro dan Kondisi Ekonomi
Beberapa asumsi makro yang menjadi dasar penyusunan RAPBN:
1. Pertumbuhan ekonomi
– 2025: target ~5,2 %
– 2026: target dinaikkan menjadi ~5,4 %
2. Inflasi
– 2025: ~2,5 % (digunakan dalam asumsi makro)
– 2026: tetap ~2,5 %
3. Suku bunga / yield SBN 10 tahun
– 2025: ~7 %
– 2026: ~6,9 %
4. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
– 2025: asumsi Rp 16.000 per USD
– 2026: asumsi Rp 16.500 per USD
5. Harga minyak mentah (ICP)
– 2025: asumsi ~USD 82 per barel
– 2026: asumsi ~USD 70 per barel
Kenaikan target pertumbuhan di 2026 menunjukkan harapan pemerintah agar ekonomi bisa tumbuh lebih tinggi untuk mendukung peningkatan penerimaan.
Penurunan asumsi harga minyak lebih konservatif di 2026 dibanding 2025 bisa mencerminkan kehati-hatian terhadap volatilitas harga komoditas global.
Penurunan target yield SBN menunjukkan harapan terhadap biaya pembiayaan utang yang sedikit lebih “ramah” (asalkan kondisi pasar mendukung).
Prioritas Kebijakan dan Alokasi Sektor
Prioritas Utama RAPBN 2026, salam pidato kenegaraan dan dokumen pendukung, pemerintah menyebut delapan agenda prioritas RAPBN 2026 yakni ketahanan pangan, energi, pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat (UMKM / desa), pertahanan, percepatan investasi dan perdagangan global, serta pengamanan (pertahanan & keamanan).
Beberapa contoh alokasi spesifik di 2026:
– Ketahanan pangan dialokasikan Rp 164,4 triliun dalam pembangunan lumbung pangan, subsidi pupuk, cadangan pangan.
– Subsidi energi (BBM, listrik, LPG 3 kg) dan pengembangan energi baru terbarukan menjadi bagian kunci alokasi energi.
– Program “Makan Bergizi Gratis” (MBG) diusulkan senilai Rp 335 triliun untuk penerima siswa, ibu hamil, balita.
– Pendidikan, anggaran untuk pendidikan pada 2026 sangat signifikan (gaji guru, beasiswa, Program Indonesia Pintar, dsb.).
– Subsidi dan anggaran pertahanan juga diperkuat (modernisasi alutsista, komponen cadangan, industri strategis).
– Untuk sektor migas / energi: target lifting migas 2026 sedikit naik untuk minyak (610.000 BOPD) dari target 2025 (605.000 BOPD)
Sementara itu, di 2025:
Alokasi pendidikan di 2025 sekitar Rp 722,6 triliun (untuk sektor pendidikan).
Pada 2025, telah diterapkan program efisiensi anggaran pusat dan daerah melalui Inpres 1/2025, di mana beberapa kementerian dan instansi melakukan pemangkasan anggaran, termasuk Polri yang mengalami efisiensi Rp 20,5 triliun
Dalam pembiayaan 2025, pemerintah juga mengusulkan penggunaan SAL (Saldo Anggaran Lebih) sejumlah Rp 85,6 triliun untuk menutup pelebaran defisit agar tidak seluruhnya dibiayai utang baru.
Perbandingan kebijakan
Di 2026, pemerintah tampak lebih agresif dalam mendanai program sosial (MBG) dan memperkuat ketahanan pangan & energi — sektor-sektor yang rawan terhadap gejolak eksternal. Di 2025, kebijakan sangat dipengaruhi oleh restrukturisasi anggaran (efisiensi) untuk menjaga ruang fiskal.
Di 2026 ada penekanan lebih kuat pada transformasi ekonomi (investasi, hilirisasi, perdagangan global) sebagai pijakan agar ekonomi tidak hanya tumbuh tapi punya basis yang lebih kuat.
Tantangan dan Risiko:
Beberapa tantangan dan perbedaan konteks antara 2025 dan 2026:
1. Ruang fiskal terbatas
Menaikkan belanja tanpa pendapatan yang cukup bisa memperlebar defisit dan meningkatkan beban pembiayaan utang.
2. Volatilitas global komoditas
Penurunan harga minyak, fluktuasi nilai tukar, dan perubahan permintaan global bisa menekan penerimaan negara.
3. Efisiensi dan akuntabilitas belanja
Kebijakan efisiensi di 2025 (Inpres 1/2025) menjadi pelajaran bahwa alokasi anggaran harus betul‑betul efektif agar tidak membebani sektor yang produktif.
4. Realitas dari target vs realisasi
Di 2025, ada indikasi bahwa realisasi penerimaan akan lebih rendah daripada target (oleh karena itu pemerintah mengusulkan penggunaan SAL) . Ini menunjukkan bahwa target ambisius perlu didukung langkah nyata agar bisa tercapai.
5. Penyesuaian selama pembahasan DPR
Seperti munculnya tambahan belanja Rp 50,3 triliun pada RAPBN 2026 dalam pembahasan di Banggar DPR. Ini menunjukkan bahwa target awal bisa mengalami revisi dalam proses legislasi. (Pramana Wijaya/balipost)