Anggota DPRD Bali, Ni Made Sumiati. (BP/win)

DENPASAR, BALIPOST.com – Bencana banjir bandang yang melanda sejumlah wilayah di Bali pada 10 September 2025 lalu telah meninggalkan duka mendalam. Pasalnya, belasan korban jiwa melayang dan ratusan kerusakan bangunan terjadi.

Menyikapi bencana alam ini, Anggota DPRD Bali Dapil Kabupaten Badung, Ni Made Sumiati, menyarankan pemerintah agar mempertimbangkan pelaksanaan upacara Mecaru Akasa.

Menurutnya, selain menyangkut kerusakan ekologis dan perilaku masyarakat, musibah ini juga berkaitan dengan dimensi spiritual masyarakat Bali.

Hal ini disampaikan Sumiati di sela-sela membacakan tanggapan dewan terkait Raperda Penyelenggaraan Keterbukaan Informasi Publik, dalam Rapat Paripurna ke-4 DPRD.

Baca juga:  One Pride MMA 79 Gelar Pertarungan Indonesia Vs China di Bali

Provinsi Bali Masa Persidangan I Tahun Sidang 2025-2026, di Ruang Rapat Wiswa Sabha Utama, Kantor Gubernur Bali, Senin (15/9).

Anggota Komisi IV DPRD Bali ini mengungkapkan dari sudut pandang Hindu dunia dibagi ke dalam tiga tingkatan alam. Yaitu, Bhur (alam bawah), Bwah (alam tengah tempat manusia hidup), dan Swah (alam atas).

“Bencana ini terjadi di alam tengah (Bwah) yang terhimpit antara Bur dan Swah. Karena itu perlu dievaluasi apakah upacara untuk Akasa (alam atas) sudah pernah dilakukan. Untuk Pertiwi (alam bawah) saya kira sudah maksimal,” ujarnya saat diwawancara usai sidang, Senin (15/9).

Baca juga:  Kasus Dugaan Korupsi Dana Hibah, Sidang Perdana Praperadilan SKP2 Digelar

Politisi PDIP ini menegaskan perlunya pesamuhan sulinggih dari seluruh kabupaten/kota yang memahami jnana dan adnyana terkait upacara. Hal ini penting agar biaya besar yang sudah dikeluarkan untuk berbagai upacara benar-benar tepat sasaran.

“Ibarat orang sakit jantung tapi dikasih obat paru-paru, apakah itu tepat? Jadi, mohon dievaluasi apakah upacara besar yang kita lakukan selama ini sudah sesuai. Bukan hanya Hindu, tapi juga agama lain bisa menjalankan sesuai keyakinannya masing-masing,” katanya.

Menurutnya, jenis upacara yang dimaksud sudah tercantum dalam Sastra Dharma Caruban, yaitu upacara bhuta kala baik di Akasa, Pertiwi, maupun di alam tengah. “Selama ini yang kita lakukan baru yang tersirat, sementara yang tersurat sudah jelas ada di dalam sastra,” tambahnya.

Baca juga:  Bawaslu Pertanyakan Verifikasi Faktual Ijazah Panji Astika dan Edi Wirawan

Sumiati juga menyinggung persoalan pelanggaran tata ruang yang dilakukan masyarakat. Ia menilai kesalahan tidak sepenuhnya bisa ditimpakan pada warga.

“Masyarakat itu beragam, ada yang pintar, ada yang kurang paham, ada yang tidak tahu. Tidak boleh sepenuhnya menyalahkan masyarakat atau pemerintah. Yang penting bagaimana kita bersama-sama membangun kesadaran mulai dari keluarga, lingkungan, hingga banjar. Jadi harus ada keseimbangan up-down dan bottom-up,” tandasnya. (Winata/Balipost)

 

 

 

 

 

BAGIKAN