Rektor Institut Mpu Kuturan (IMK), Prof. Dr. I Gede Suwindia, M.A. (BP/Yud)

SINGARAJA, BALIPOST.com – Bagi masyarakat Buleleng, Hari Raya Pagerwesi memiliki makna yang sangat penting. Perayaan ini diposisikan setara dengan Hari Raya Galungan dan Kuningan. Tradisi ini bahkan berbeda dengan pola perayaan Pagerwesi di daerah lain di Bali, di mana masyarakat Buleleng kerap menyebutnya dengan istilah Rainan Pegorsi.

Rektor Institut Mpu Kuturan (IMK), Prof. Dr. I Gede Suwindia, M.A. dihubungi, Rabu (10/9) menjelaskan bahwa kuatnya tradisi perayaan Pagerwesi di Buleleng berakar pada petuah leluhur yang diwariskan secara turun-temurun. Petuah itu menekankan agar keturunan merayakan Pagerwesi dengan sungguh-sungguh sebagai perayaan peneguhan lahir dan batin.

“Pagerwesi di Buleleng dimaknai bukan sekadar ritual rutin, melainkan momentum memperkuat diri, baik lahir maupun batin. Karena itu, nuansa perayaannya menjadi meriah, sama halnya dengan Galungan yang dirayakan sebagai kemenangan dharma melawan adharma,” kata Suwindia.

Baca juga:  Dari Singapura “Lockdown" hingga Ini Instruksi Menhub Antisipasi Arus Balik

Ia menambahkan, masyarakat Buleleng yang merantau pun memiliki kebiasaan pulang kampung khusus saat Pagerwesi. Mereka ingin berkumpul bersama keluarga sekaligus bersembahyang di sanggah atau merajan.

Menurut Suwindia, Pagerwesi juga tidak bisa dilepaskan dari rangkaian hari raya sebelumnya, Saraswati, Banyupinaruh, Soma Ribek, dan Sabuh Mas. Perayaan Saraswati menandai turunnya ilmu pengetahuan, Banyupinaruh melambangkan penyucian diri, Soma Ribek menekankan pemanfaatan pengetahuan untuk kesejahteraan, dan Sabuh Mas dimaknai sebagai kemuliaan diri berkat ilmu pengetahuan.

Baca juga:  Pastikan Kesehatan Babi, Distan Kerahkan Puluhan Dokter Hewan

“Setelah melalui empat rangkaian itu, Pagerwesi hadir sebagai tonggak peneguhan. Seperti pagar besi, ia menjadi perlindungan agar kemuliaan dan kebahagiaan yang dicapai tidak mudah goyah,” ujar Suwindia.

Keunikan lain di Buleleng, kata Suwindia, adalah tradisi persembahyangan di setra (kuburan) dan Taman Makam Pahlawan. Masyarakat membawa punjung berisi olahan daging, nasi, minuman, dan jajan Bali untuk dipersembahkan kepada leluhur, terutama yang belum diaben.

“Penghormatan kepada leluhur diyakini sebagai doa agar keluarga mendapat anugerah dalam menjalani kehidupan. Inilah yang membuat Pagerwesi di Buleleng begitu spesial,” ujarnya.

Meski begitu, Suwindia mengakui perayaan Pagerwesi tidak sama meriahnya di seluruh wilayah Buleleng. Di kawasan barat, seperti Gerokgak dan Busungbiu, perayaan berlangsung sederhana. Adapun perayaan besar biasanya ditemukan di kawasan timur, mulai Kecamatan Buleleng hingga Tejakula.

Baca juga:  Kasus Penyiksaan WN Ukraina, Empat WNA Ditahan di Rudenim

Perbedaan ini, menurut Suwindia, tidak lepas dari pengaruh sejarah dan kultur. Dahulu, Buleleng terbagi menjadi dua wilayah, yakni Dangin Enjung (timur) dan Dauh Enjung (barat). Wilayah timur lebih kuat dipengaruhi oleh ajaran Siwa Pasupata, sementara wilayah barat mendapat pengaruh Buddha Mahayana.

“Perbedaan pandangan inilah yang memengaruhi ragam tradisi, termasuk dalam merayakan Pagerwesi. Tetapi pada intinya, bagi masyarakat Buleleng, Pagerwesi tetap menjadi hari raya besar yang memperkuat ikatan spiritual dan kultural,” kata Suwindia. (Yudha/Balipost)

BAGIKAN