Presiden Prabowo Subianto menyampaikan keterangan pers di Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (31/8/2025). (BP/Antara)

DENPASAR, BALIPOST.com – Presiden Prabowo Subianto melalui keterangan persnya, Minggu (31/8), menyatakan bahwa bersama DPR RI telah sepakat mencabut tunjangan dan moratorium anggaran kunjungan kerja ke luar negeri. Atas pernyataan tersebut, kini publik menunggu implementasi dari pencabutan tunjangan tersebut.

Keputusan politik untuk mencabut tunjangan DPR tersebut perlu ditindaklanjuti dengan regulasi yang jelas. Meski keputusan sudah diambil, tentunya pencabutan tidak langsung berlaku.

Ada mekanisme yang harus dilewati, sebab tunjangan DPR melekat pada jabatan wakil rakyat dan diatur dalam Undang – Undang MD3 serta Peraturan Pemerintah tentang Keuangan atau Administrasi DPR.

Baca juga:  Puluhan Wisatawan Tersengat Ubur-ubur

Penghentian tunjangan DPR memerlukan payung hukum baru, baik dalam bentuk perubahan undang-undang, peraturan pemerintah, maupun keputusan presiden.

Berdasarkan berbagai sumber yang dihimpun Balipost Online, Senin (1/9), sejauh ini belum pernah ada pencabutan total tunjangan DPR pusat.

Umumnya yang ada, dilakukan penyesuaian atau penghapusan sebagian komponen. Untuk itu, tidak menutup kemungkinan langkah pencabutan tunjangan DPR dipastikan akan menimbulkan perdebatan panjang, baik di ranah politik maupun hukum.

Mengenai alur pencabutan tunjangan DPR, dikutip dari  langkah pertamanya dari keputusan politik atau kebijakan pemerintah. Langkah inipun harus dituangkan dalam regulasi formal sebagai dasar hukumnya. Baik berupa Perpu, Undang – undang, Peraturan Pemerintah beserta turunannya. Dilanjutkan kemudian dengan pembuatan penetapan teknis oleh Setjen DPR Bersama kementrian keuangan menetapkan aturan turunannya, baik dalam bentuk surat edaran maupun juklak.

Baca juga:  Pilwali 2020, KPU Denpasar Usulkan Rp 25 Miliar

Setelah alur regulasi sudah terbentuk, dilakukan sosialisasi dan penetapan batas Waktu. Untuk masa berlaku, tidak bisa berlalu surut. Efektivitasnya menunggu masa pengundangan dan biasanya mengikuti tahun anggaran berjalan.

Jika aturan keluar di tengah tahun, pembayaran tunjangan dihentikan per bulan berikutnya.

Sejatinya, sorotan terhadap perolehan tunjangan DPR ini pernah mirip terjadi di tahun 2018. Saat itu, terjadi polemik soal tunjangan transportasi DPR yang nilainya dianggap terlalu besar. Hal itu menuai kritikan publik, yang kemudian dilakukan pengaturan ulang besaran dan mekanismenya.

Baca juga:  Made Oka Bantah Pernyataan Novanto

Selain DPR, kasus yang serupa juga pernah terjadi di beberapa daerah. Tatkala pada 2017, dimana DPRD sempat kena aturan pembatasan tunjangan rumah dinas/transportasi (Permendagri).

Kasus DPRD Garut di 2012, dimana tunjangan tertentu dicabut karena dianggap ganda atau bertentangan dengan aturan pengelolaan keuangan daerah.

Kendati di berbagai daerah pernah terjadi pencabutan tunjangan, namun pencabutan total tunjangan DPR pusat belum pernah terjadi. Hanya penyesuaian besaran atau penghapusan komponen tertentu. (Agung Dharmada/balipost)

BAGIKAN