Petani saat melakukan panen padi di Subak Margaya, Denpasar. (BP/Ist)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pengembangan kawasan land consolidation (LC) di Denpasar, khususnya di Subak Margaya, Pemecutan Kelod, sudah terjadi sejak 1990-an. Namun hingga kini, petani berupaya mempertahankan lahan sawahnya, meski tidak teraliri air. Bahkan, banyak sampah hingga berbenturan dengan pengembang.

Demikian cerita Pekaseh Subak Margaya, I Nyoman Ariantha, Senin (18/8). “Rencana dibangunnya kawasan LC di Subak Margaya sudah sejak tahun 1996 dan sudah didata Badan Pertanahan Denpasar. Inventarisasi tanah sudah, tapi mungkin terjadi overlapping. Entah Pemkot mundur atau lanjut, pengembangan LC tidak jalan,” ungkapnya.

Pengembangan LC sempat ditolak beberapa kelompok, baik pemilik lahan maupun para petani karena bertani adalah sumber penghasilan bagi mereka di Subak Margaya.

Baca juga:  Petani Ditemukan Tewas di Saluran Irigasi

“Para petani khawatir sawah hilang. Kalau jadi kawasan LC hanya menguntungkan bagi pembeli tanah, pemilik tanah. Kalau petani tidak dirugikan, jelas karena mata pencahariannya dan pekerjaan di sana,” ungkapnya pria yang menjadi pekaseh sejak 2011 ini.

Sementara subsidi bagi petani tidak ada karena ia menyadari lahan tersebut bukan jalur hijau lagi. Namun Pemkot telah berupaya membantu dengan memberi bantuan jalan usaha tani (JUT) 2,45 meter dan akan dilanjutkan di APBD perubahaan 2025 sampai ke Pura Bedugul, Dewa Kuning, Telaga Waja, Ulun Danu Subak Margaya. Selain itu, dari tiga tahun lalu, lahan sawah tersebut juga bebas pajak karena masih sawah aktif.

“Jika akan dikembangkan LC, dibangun jalan tembus ke selatan, pemilik tanah mungkin dapat biaya penggantian jalan. Mungkin pemilik tanah dapat, dan petani pemilik, jadi bisa dia nikmati. Kalau petani yang punya lahan sedikit- sedikit, dibagi dengan banyak saudaranya, apalagi petani penggarap, bagaimana?” ungkapnya.

Baca juga:  Ratusan Petani Tebu Lampung dan Jatim Dilatih Budidaya Tebu yang Benar

Menurutnya, petani di Subak Margaya kebanyakan merupakan petani penggarap (bukan pemilik lahan) sekitar 60 persen, dan 40 persen petani pemilik tanah. Namun demikian, 40 persen petani pemilik tanah memiliki lahan yang luas. Selain itu, awalnya subak Margaya bukan berada di lokasi yang saat ini, tapi utara Jalan Gunung Soputan sampai Masjid Jalan Pura Demak. “Tapi di sana sudah dibangun LC lebih dulu sejak tahun 1994 -1995. Di sana pun belum clear karena banyak tumpang tindih,” terangnya.

Baca juga:  Upacara HUT ke-80 RI di Tabanan Diwarnai Pasukan Tridatu Bercaping

Hingga saat ini lahan sawah yang berhasil dipertahankan di Subak Margaya yaitu 69 ha, dari awalnya 75 ha. Sebab 6 ha telah dikembangkan developer. Walaupun sawah mulai menyempit 15 ha, 20 ha, diakui ia pasrah karena keinginan pemilik tanah yang berbeda- beda untuk tujuan masing-masing.

Ia berharap pemerintah berpihak pada aktivitas petani agar bisa berjalan untuk melanjutkan program pangan. Karena menurutnya membangun LC mudah dan cepat, tapi membangun lahan pertanian berkelanjutan dan itu sangat sulit. Ia juga menyadari pemerintah perlu pengembangan jalan untuk mengurai kemacetan ,tapi juga perlu dicari solusi lainnya untuk mempertahankan sawah. (Citta Maya/Balipost)

 

BAGIKAN