Ketua Pramusti, I Gusti Ngurah Murthana. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Perhimpunan Musisi dan Pencipta Lagu dan Musik (Pramusti) Bali menilai sistem pungutan royalti yang dijalankan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) saat ini tidak adil dan kurang transparan.

Ketua Pramusti, I Gusti Ngurah Murthana atau yang akrab disapa Jik Rahman, menyebut sebagian besar pencipta lagu dan musik Bali enggan mendaftar ke LMK karena pembagian dana royalti dinilai tidak proporsional. Ia mendukung pemungutan royalti demi kesejahteraan seniman.

Namun demikian, kenyataannya banyak pencipta lagu Bali tidak terdaftar di LMK dan dana yang dibagikan tidak sesuai hak yang seharusnya. Sistem bagi rata yang dipakai justru merugikan pencipta yang lagunya populer.

Rahman menilai, mekanisme yang ada belum tepat sasaran karena pendataan tidak dilakukan by name by address. Rahman mendorong adanya digitalisasi pengumpulan royalti, sehingga pemutaran lagu dapat terpantau real time dan pembayaran langsung mengalir ke penciptanya.

Baca juga:  Imigrasi Singaraja Deportasi Delapan WNA, Ini Pelanggaran yang Mendominasi

Pramusti juga mendesak pembentukan LMK Daerah khusus musik Bali, agar pengelolaan dan distribusi royalti bisa lebih adil serta sesuai porsi popularitas karya. Menurutnya, selama ini musik Bali banyak diputar di hotel, restoran, kafe, hingga karaoke, namun pencipta asli jarang menikmati haknya.

“Sudah tiga tahun kami mengupayakan LMK Daerah, tapi terhambat rekomendasi LMKN Pusat yang meminta kami bergabung saja dengan LMK yang ada. Padahal kami punya data lengkap pencipta dan karya lagu Bali,” ujar Jik Rahman di Denpasar, Selasa (12/8).

Saat ini terdapat 16 LMK aktif di Indonesia yang memungut royalti sesuai genre, dari dangdut hingga pop. Ditambah dua LMK baru untuk musik tradisi daerah. Pungutan berlaku untuk segala bentuk komersialisasi karya, baik on air maupun pertunjukan langsung, sesuai amanat undang-undang.

Rahman menegaskan, perlindungan hak cipta adalah kewajiban negara, namun harus tepat sasaran. “Jika LMK Daerah terbentuk, kami yakin kesejahteraan musisi dan pencipta lagu Bali akan lebih terjamin,” tegasnya.

Baca juga:  Diambil Alih Polda, Perampok Ditembak Dibawa ke RS Trijata

Sementara itu, aktivis musik Gede Bagus Perdana Putra, meminta agar pihak LMKN dan LMK harus secara seimbang melakukan sosialisasi kepada masyarakat, pihak users, dan pihak musisi dan pencipta lagu.

Bukan hanya galak dalam menjelaskan kewajiban-kewajiban dalam menarik pembayaran royalti, namun juga mau terjun ke komunitas, perkumpulan, organisasi yang menaungi musisi dan pencipta lagu untuk melakukan pendampingan dan memandu tahapan-tahapan yang harus dilakukan, sehingga musisi/pencipta lagu berhak mendapat aliran royalti yang seharusnya sudah diperoleh sejak UU ini disahkan.

Selain itu, terkait indikasi penentu jumlah royalti serta transparansi LMKN dan LMK dalam pendistribusian kepada musisi/pencipta lagu/komposer musik menjadi hal yang paling vital dalam menjaga rasa percaya semua pihak terhadap kasus ini.

Baca juga:  Tambahan Kasus COVID-19 Bali Capai 2 Digit

Ia juga menyarankan agar para pelaku usaha disarankan untuk segera mengurus lisensi royalti ini ke pihak LMK (ada sekitar 18 LMK resmi di bawah LMKN). Semacam Surat Ijin Memutar Musik” untuk menghindari masalah-masalah hukum yang bisa ditimbulkan di kemudian hari seperti halnya kasus Mie Gacoan.

Tidak hanya itu, LMK juga harus menegaskan bahwa segala jenis audio (suara alam, suara hewan, musik instrument, dan lainnya) yang diputar di tempat umum dengan tujuan komersial, dipastikan masuk ke dalam kategori wajib bayar royalti, karena ada hak terkait yang terkandung di dalamnya.

Hak yang bisa diperoleh pihak yang merekam/mengupload audio tersebut ke digital streaming platform/online. “Semoga ekosistem musik di Bali bisa lebih sehat dan menyejahterakan semua pihak,” harapnya. (Ketut Winata/balipost)

BAGIKAN