Gubernur Bali, Wayan Koster usulkan Raperda Bale Kertha Adhyaksa ke DPRD Bali, Rabu (6/8). (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Provinsi Bali tentang Bale Kertha Adhyaksa di Desa Adat telah diusulkan ke DPRD Bali, Rabu (6/8). Sebagai tindak lanjut, DPRD Bali pun langsung membahasnya, Kamis (7/8) siang ini.

Pembahasan Raperda ini melibatkan dan mengundang pimpinan dan anggota DPRD Provinsi Bali (Gabungan seluruh Komisi), Kepala Kejaksaan Tinggi Bali, Kepala Kementerian Hukum RI Kantor Wilayah Bali, Kepala Dinas Pemajuan Masyarakat Adat Provinsi Bali, Kepala Biro Hukum Setda Provinsi Bali, Ketua Majelis Desa Adat Provinsi Bali, Kelompok Ahli Bidang Hukum Provinsi Bali, dan Kelompok Pakar/Tim Ahli Pimpinan DPRD Provinsi Bali.

Raperda ini sebagai upaya menghadirkan mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih humanistik, berbasis keadilan restoratif dan nilai-nilai kearifan lokal.

Gubernur Bali, Wayan Koster menyatakan bahwa praktik penegakan hukum di Indonesia selama ini masih cenderung menitikberatkan pada pendekatan keadilan retributif dan belum sepenuhnya memberikan ruang yang cukup bagi nilai-nilai hukum adat dan keadilan sosial masyarakat.

Baca juga:  Revisi Raperda Harus Fokus pada Kemandirian Desa Pakraman

Penerapan hukum dan penegakan keadilan adalah dua hal yang belum sepenuhnya berjalan paralel. Hukum adat yang sebenarnya telah diakui dalam konstitusi, masih belum menjadi bagian yang signifikan dalam sistem hukum nasional.

Untuk itu, Bale Kertha Adhyaksa dirancang sebagai forum musyawarah di tingkat desa adat yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa adat, perkara pidana ringan, dan konflik sosial secara damai melalui pendekatan restoratif.

Model ini mengedepankan pemulihan hubungan antar pihak, tanpa harus melalui jalur peradilan formal yang sering kali menyisakan konflik berkepanjangan.

“Forum ini adalah ruang dialog antar warga. Sebuah lembaga yang lahir dari integrasi hukum nasional dan hukum adat, di mana mediasi, musyawarah, dan kedamaian menjadi solusi utama dalam menyelesaikan perkara,” ujar Koster.

Baca juga:  Mewujudkan Bali Bersih dengan Produk Inovatif

Apalagi, lanjut Koster Bali menjadi provinsi pertama yang benar-benar mengakui Desa Adat secara hukum melalui UU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali. “Ini menjadi langkah konkrit kita melindungi Desa Adat di Bali,” tegas Koster.

Sebelumnya, Kajati Bali Ketut Sumedana, sebagai inisiator konsep ini, mengungkapkan Bale Kertha Adhyaksa adalah warisan hukum berbasis adat yang siap menjadi role model nasional. Fungsinya bukan hanya mediasi, tapi juga edukasi dan penguatan sistem hukum adat.

Jika Raperda disahkan sesuai jadwal, maka Bali akan menjadi provinsi pertama di Indonesia yang memiliki sistem formal hukum adat berbasis Perda sekaligus siap menjadi percontohan nasional dalam pelaksanaan KUHAP yang baru.

Mantan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung RI ini mengungkapkan Bale Kertha Adhyaksa telah diterapkan sebagai pilot project di seluruh kabupaten/kota di Bali dan mendapat respon positif dari desa adat, krama Bali serta aparat penegak hukum. Lembaga ini menangani sengketa adat non-pidana berat, seperti persoalan tanah, waris, pernikahan adat, dan konflik sosial ringan.

Baca juga:  Ditembak, Pembobol Puluhan SD di Wilayah Badung

Dengan dukungan jaksa, pengacara, desa adat, dan penyuluh hukum, sistem ini diyakini mampu menghadirkan penyelesaian yang adil, efisien, dan sesuai dengan nilai-nilai lokal desa adat dan tradisi Bali.

“Bali sudah lebih dulu membuktikan bahwa penyelesaian berbasis kearifan lokal jauh lebih efektif. Kini saatnya menguatkan dasar hukumnya,” ujar Ketut Sumedana.

Dengan hadirnya pembahasan Raperda ini dan akan selesai dalam waktu dekat, provinsi Bali akan menjadi pelopor membangun jembatan antara hukum nasional dan kearifan lokal secara berkeadilan dan berkelanjutan. (Ketut Winata/balipost)

BAGIKAN