Anggota DPR RI Dapil Bali, Nyoman Parta. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Polemik mengenai keberadaan dan kewenangan Majelis Desa Adat (MDA) Bali dengan desa adat di Bali mendapat tanggapan dari Koordinator Penyusunan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali, I Nyoman Parta. Parta meminta keluhuran desa adat dan taksu MDA agar dijaga.

Anggota DPR RI Dapil Bali ini mengatakan desa adat yang tumbuh berkembang selama berabad-abad serta memiliki hak asal usul, hak tradisional, dan hak otonomi asli mengatur rumah tangganya sendiri, telah memberikan kontribusi sangat besar terhadap kelangsungan kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara.

Dalam Pasal 18B Ayat 2 UUD 1945, Negara megakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat serta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang.

Bunyi frasa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya”. Terhadap “kesatuan mayarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya” tersebut, secara filosofis dan sosiologis dipahami sebagai bentuk organisasi tradisonal yang memiliki susunan pemerintahan, wilayah, norma hukum dan harta kekayaan yang bersifat otonom. Pada pasal ini sangat relevan dengan keberadaan desa adat di Bali.

Namun bunyi Pasal 18B Ayat 2 UUD 1945 ini baru bersifat statis, baru berupa untaian kata dan kalimat, belum dinamis, belum operasional, maka diperlukan peraturan yang berupa turunannya yang lebih operasinal dan membumi. Sehingga, perlu dibuat Perda Desa Adat di Bali merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki wilayah, kedudukan, susunan asli, hak-hak tradisional, harta kekayaan sendiri, tradisi, tata krama pergaulan hidup masyarakat secara turun temurun dalam ikatan tempat suci (kahyangan tiga atau kahyangan desa), tugas dan kewenangan serta hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Baca juga:  Jumlah Pasien COVID-19 Melonjak, Ini Upaya Mengatasi Penuhnya Ruang Isolasi

Politisi PDI Perjuangan ini mengatakan dalam Perda Nomor 4 Tahun 2019, pengaturan desa adat bertujuan memberikan pengakuan dan penghormatan atas kedudukan dan peran desa adat yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Dalam Pasal 29 Ayat 2 dan Ayat 4, bendesa adat atau sebutan lain dipilih oleh krama desa secara musyawarah mufakat yang diatur dengan Awig- Awig dan/atau Pararem,” ungkap Parta, Rabu (16/7).

Sementara itu, Parta menjelaskan bahwa MDA adalah kelanjutan dari MDP (Majelis Desa Pakraman) yang di tingkat Provinsi disebut MUDP sebagaimana diatur dalam Perda Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang kemudian diganti dengan Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali dalam perda ini nama MUDP diganti menjadi MDA.

Baca juga:  Dari Zona Merah COVID-19 Bali Ada di Dua Daerah hingga Gegara Ini Waria Main Jotos

Saking pentingya MDA, dikatakan DPRD Bali dan Gubernur Bali mengatur MDA secara khusus dalam satu Bab yaitu Bab XI dari Pasal 72 sampai Pasal 80 tentang Kedudukan dan Pembentukan, tugas dan wewenang, pengambilan Keputusan.

“Bahkan kami mencantumkan Pasal Khusus tentang kewajiban pemerintah daerah mengalokasikan anggaran, mengadakan tenaga sekretariat MDA dan memfasilitasi sarana dan prasarana MDA sebagaimana diatur dalam Pasal 80,” ujarnya.

Khusus untuk hal ini, dikatakan bahwa Gubernur Koster telah memfasilitasi pendirian kantor MDA Provinsi dan MDA Kabupaten/Kota se-Bali hal ini tentu harus diberikan apresiasi.

Selain itu, secara khusus juga dibuatkan nomenklatur untuk Pemerintah Provinsi membentuk perangkat daerah yang menangani urusan Desa Adat sesuai dengan Pasal 96 Ayat 1.

“Walaupun MDA dibutuhkan keberadaannya, tetapi dalam Perda Nomor 4 Tahun 2019 tidak satupun ada kata, kalimat dan pasal maupun dalam ayat yang memberikan tugas dan wewenang MDA melantik atau mengkuhkan Bandesa Adat,” tegas Parta.

Dikatakan, MDA adalah pasikian yang dibentuk oleh desa adat tentu tidak pas jika memposisikan diri sebagai atasan dari yang membentuknya. MDA diniatkan menjadi tempat forumnya atau wadahnya bandesa adat untuk berkumpul berkoordinasi dan mendapatkan tuntunan yang bersifat umum serta menyelesaikan wicara yang tidak bisa diselesaikan di tingkat desa adat.

Baca juga:  Pawai Ogoh-ogoh di Denpasar Ditunda, akan Dirancang Festival

“Sahnya jabatan bandesa berdasarkan paruman yang diatur dalam Awig-Awig maupun Pararem disetiap desa adat, bukan berdasarkan SK MDA. Bendesa Adat tidak pernah di kukuhkan maupun di SK kan baik sebelum maupun setelah berlakunya Perda Nomor 3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman,” tandasnya.

Oleh karena itu, Parta meminta agar marwah MDA pada posisi yang menjadi tujuan dari Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali dikembalikan. “Begitu juga, kita luhurkan posisi Desa Adat sesuai otonomi dan hak – hak tradisionalnya yang ada pada Desa Adat berdasarkan Awig – Awig dan Pararem yang dimiliki setiap Desa adat, yang satu dengan yang lainnya sangat beragam,” tegasnya.

Menurut Parta, dalam Perda Desa Adat ada pasal ayat yang tersurat, ada juga yang tersirat berupa perdebatan yang melatarbelakangi bunyi dari pasal ayat tersebut. “Oleh karena itu tentu tidak cukup hanya dengan penjelasan pendek ini dan selanjutnya saya bersedia untuk diundang oleh pihak manapun untuk memberikan informasi yang lebih utuh dan komprehensif,” pungkasnya. (Ketut Winata/balipost)

BAGIKAN