
DENPASAR, BALIPOST.com – Keterlibatan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali dalam pengukuhan bendesa adat yang terjadi di Desa Adat Selat, Susut, Bangli kini menjadi polemik di tengah masyarakat Bali.
MDA Bali dinilai terlalu ikut campur dalam urusan internal desa adat. MDA merupakan lembaga koordinasi antarbendesa adat, bukan sebagai atasan struktural.
Anggota Komisi I DPRD Provinsi Bali dari Fraksi PDI Perjuangan, I Wayan Bawa, S.H., menilai fungsi MDA Bali belakangan ini terlalu jauh mencampuri urusan internal desa adat. Menurutnya, MDA sejatinya hanya berfungsi sebagai lembaga koordinasi antarbandesa adat, bukan sebagai atasan struktural.
“Kalau kita ibaratkan, MDA itu forum koordinasi. Sama seperti di desa dinas ada forum perbekel. Desa adat bukan di bawah forum, karena atasan desa adat itu ya Ida Bhatara Kahyangan Tiga dan krama desa adat, bukan MDA,” tegas I Wayan Bawa, Senin (14/7).
Bawa yang juga Bendesa Adat Seseh, Cemagi, Mengwi, Badung ini menyebut fenomena gelar Bendesa Agung atau sebutan sejenis di MDA patut dipertanyakan. “Logikanya kalau forum, ya dipimpin oleh ketua forum yang jelas diambil dari bendesa-bendesa aktif. Tapi sekarang muncul ‘ratu-ratu’ entah dari mana. Siapa yang pilih? Mungkin hanya kelompok kecil. Kami di bawah ini tidak pernah tahu prosesnya,” ujarnya.
Politisi PDI Perjuangan ini menegaskan, sering terjadi kesalahpahaman seolah-olah MDA berhak melantik atau memberhentikan bandesa adat. Padahal, mekanismenya sepenuhnya ada di tangan krama desa adat. “Kalau MDA yang melantik, logikanya MDA juga bisa memecat. Padahal tidak begitu. Bendesa adat diangkat dan diberhentikan oleh krama, bukan oleh forum,” tegasnya lagi.
Ia pun mencontohkan pengalamannya sendiri sebagai Bendesa Adat Seseh. Ia memilih tidak dilantik oleh MDA, namun entah bagaimana SK tetap diterbitkan. “Saya santai saja. Dana BKK Rp100 juta juga tidak cair untuk Desa Seseh, ya tidak apa-apa. Saya tetap ngayah,” tutur Bawa.
Sebagai wakil rakyat di Komisi I DPRD Provinsi Bali, Bawa menyatakan pihaknya akan mengagendakan pemanggilan MDA dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMA). Tujuannya, memastikan tidak ada tumpang tindih aturan antara Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat dengan UU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali.
“Aturan di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan aturan di atasnya. Harus selaras. Jadi saya akan usulkan di Komisi I DPRD Bali agar ini segera dibahas tuntas,” tegasnya.
Sebagai penutup, I Wayan Bawa menegaskan komitmennya mendampingi desa adat di lapangan tanpa pamrih. “Intinya saya tetap ngayah. Jabatan hanya titipan, tapi ngayah untuk krama desa adat adalah kewajiban yang harus saya jalankan, SK keluar atau tidak, BKK cair atau tidak,” tandasnya.
Bendesa Adat Batuyang, Gianyar, Guru Made Sukarta secara terbuka menyuarakan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap struktur dan peran MDA dalam konstelasi adat Bali saat ini. Menurutnya, keberadaan MDA baik di tingkat kecamatan, kabupaten, hingga MDA Agung sejatinya harus difungsikan sebagai forum komunikasi antarbendesa adat se-Bali, bukan sebagai lembaga yang seolah-olah memiliki otoritas struktural atas desa adat.
Bahkan, pihak Desa Adat Batuyang sejak dulu mengusulkan agar peran MDA itu dikaji ulang secara total. “MDA bukan atasan kami. Atasan kami adalah krama desa adat yang memilih kami secara sah, dan secara niskala, kami dijaya-jaya oleh Ida Bhatara Kahyangan Tiga,” tegas Guru Made Sukarta, Senin (14/7).
Ia menekankan bahwa saat ini MDA lebih banyak berfungsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah, seperti dalam menyalurkan bantuan BKK atau meneruskan instruksi-instruksi formal. Hal itu dinilai tidak menjadi persoalan, selama dijalankan secara transparan dan bersifat fasilitatif bukan memerintah atau bahkan menekan desa adat.
“Kalau forum MDA hanya menjadi instrumen untuk memerintah, main tunjuk, mengeluarkan ancaman semacam tidak dikeluarkan surat keputusan BKK, itu bukan membina, tapi sudah masuk ke arah tekanan. Itu yang tiang tidak setuju,” ujar Bendesa yang dikenal vokal ini.
Guru Made Sukarta mengusulkan agar bila memang ada forum formal dalam struktur adat, maka sebaiknya dipimpin oleh bendesa adat yang masih aktif, bukan figur birokratis atau yang tidak lagi berkecimpung dalam urusan adat secara langsung.
Selain itu, pihaknya juga mendorong agar DPRD Bali merevisi Perda Desa Adat agar keberadaan MDA dihapuskan. Mengingat MDA terus berpolemik. Apalagi, Bali sudah memiliki Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA).
“Apabila Pemerintah Provinsi Bali mau memajukan dan menjaga eksistensi desa adat ini cukup lah ada Dinas Pemajuan Masyarakat Adat sebagai koordinatif daripada para bendesa se-Bali. Sehingga, MDA bisa dihapuskan deni efisiensi anggaran. Cukup ada Dinas Pemajuan Masyarakat Adat sebagai garis koordinatif, karena desa adat adalah otonom. Kalau urusan membuat pararem atau awig-awig sudah biasa dibuat sebalum ada MDA,” tegasnya. (Ketut Winata/balipost)