Proyek Pusat Kebudayaan Bali di Klungkung. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pembangunan Bali, terutama infrastruktur fisik yang sudah dan sedang direncanakan masih fokus demi  kepentingan pariwisata dan investasi.

Sementara yang mendesak dan sangat dibutuhkan masyarakat justru masih banyak yang diabaikan atau belum menjadi prioritas.

Padahal banyak infrastruktur yang direncanakan demi kepentingan pariwisata berpotensi membawa dampak buruk bagi alam dan lingkungan Bali.

Pengamat ekonomi Prof. IB Raka Suardana, Jumat (4/7) mengatakan, perencanaan pembangunan infrastruktur di Bali belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat karena masih terfokus pada sektor pariwisata dan investasi.

“Infrastruktur yang dibangun belum mengatasi masalah utama, seperti kemacetan, krisis sampah, dan kesenjangan wilayah secara menyeluruh,” ujarnya.

Menurutnya, infrastruktur yang paling mendesak dibutuhkan untuk menjadikan Bali lebih baik adalah sistem pengelolaan sampah terpadu, transportasi publik yang efisien, jaringan air bersih dan sanitasi yang merata, serta infrastruktur digital untuk mendukung layanan dan ekonomi masyarakat.

3 Mega Proyek Disoroti

Sementara itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Daerah Bali, Made Krisna Dinata, mengatakan dari berbagai rencana pembangunan infrastruktur strategis yang akan dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Bali di Bali yang diklaim sebagai destinasi wisata kelas dunia.

Dalam catatan Walhi Bali sedikitnya 3 rencana mega proyek tersebut disoroti dan disinyalir akan menimbulkan dampak ekologis yang serius.

Pertama, Jalan Tol Gilimanuk-Mengwi. Rencana pembangunan jalan Tol Gilimanuk-Mengwi Pembangunan Jalan Tol Gilimanuk-Mengwi sepanjang ± 96,21 Km (Kabupaten Jembrana, Tabanan dan Badung), ditolak karena akan di bangun dengan menerabas 480,54 Ha dengan jumlah 98 wilayah subak yang berada di sepanjang trase Tol Gilimanuk-Mengwi.

Baca juga:  Tambahan Kasus COVID-19 Nasional Masih Puluhan Ribu, Kematian Meningkat

Jika merujuk data Daya Dukung Daya Tampung Lingkungan Hidup, peta jasa penyedia pangan yang dipublikasikan oleh Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Bali dan Nusa Tenggara (P3E Bali Nusra), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), terilhat bahwa proyek Jalan Tol Gilimanuk-Mengwi tersebut masuk pada wilayah jasa penyediaan pangan dengan klasifikasi jasa lingkungan sedang hingga sangat tinggi.

Menurut data P3E Bali Nusra, luasan tertinggi dalam kategori tinggi dan sangat tinggi adalah kabupaten Tabanan. Lebih lanjut P3E Bali Nusra juga menerangkan bahwa Kabupaten Tabanan memiliki lahan persawahan paling luas diantara kabupaten lainnya.

Jika dikalkulasikan, 1 hektare lahan sawah sedikitnya menghasilkan beras 6 ton. Maka, proyek pembangunan Jalan tol Mengwi-Gilimanuk yang menerabas area sawah seluas 480,54 Ha, mengurangi produksi beras di Bali sebanyak 2.883,24 ton.

“Tentu hal ini akan bertentangan dengan visi-misi dari Gubernur Bali yang memiliki konsep dan nuansa kental budaya Bali yakni “Nangun Sat Kerthi Loka Bali” serta tak sejalan dengan Koster-Giri dalam misinya mewujudkan kedaulatan pangan, meningkatkan nilai tambah, daya saing pertanian, dan meningkatkan kesejahteraan petani, serta memastikan terpenuhinya kebutuhan sandang-papan bagi kehidupan krama Bali,” ujar Krisna Dinata, Jumat (4/7).

Kedua, Pembangunan Pusat Kebudayaan Bali Terpadu di Kabupaten Klungkung. Menurutnya, Rencana pembangunan Pusat Kebudayaan Terpadu di Kabupaten Klungkung berada di kawasan rawan bencana tinggi.

Bencana tersebut berupa gempa bumi, tsunami dan gunung api. lokasi proyek berada dalam kawasan rawan tinggi bencana gempa bumi. Wilayah dalam kawasan rawan gempa bumi tinggi berpotensi terlanda goncangan gempa bumi dengan intensitas VII-VIII MMI (Modified Mercally Intensity). Dapat menimbulkan dampak berupa retakan tanah, peluluhan pada kawasan endapan alluvium (likuifaksi), longsoran pada daerah berlereng terjal serta pergeseran tanah.

Baca juga:  Pengelola Pabrik Narkoba 'Zombie' Dibantu Ibu dan Adiknya, Ratusan Bukti Diamankan

Lebih lanjut, lahan pertanian dan subak yang berada dalam kawasan yang akan dibangunnya Pusat Kebudayaan Bali juga turut terancam akibat proyek ini. Setidaknya ada 2 subak, yakni 15 hektare lahan subak Desa Sampalan Klod dan 10 hektare lahan subak Desa Gunaksa.

Ketiga, Pembangunan Kawasan Terpadu Pelabuhan Sangsit di Kabupaten Buleleng. Dalam catatan Walhi Bali, proyek ini berpotensi memperparah abrasi di kawasan pesisir sekitar proyek sebab secara teknis, proyek ini akan melakukan pengerukan seluas 6,4 hektare dengan volume keruk sebanyak 500.000 meter kubik.

Tentu hal ini akan berdampak terhadap perubahan arus dan gelombang yang akan mempengaruhi kehidupan masyarakat sekitar terutama terhadap produktivitas nelayan setempat.

Begitu juga terdapat 26.193 meter persegi lahan persawahan produktif yang terkonfirmasi merupakan kawasan penyedia pangan dengan intensitas tinggi yang akan diterabas untuk akses jalan dan bangunan pelabuhan ini.

Pembangunan Pelabuhan Sangsit tentu akan berpotensi menambah laju alih fungsi lahan di Bali yangmana jika dikalkulasikan lahan seluas 26.193 meter persegi akan berpotensi menghilangan produksi beras sebanyak 15,6 ton pertahunnya.

“Di samping itu dalam pembahasan dokumen ini kami juga mempertanyakan terkait penggusuran yang berpotensi terjadi jika pembangunan pelabuhan ini dilaksanakan. Dalam temuan awalnya terdapat sedikitnya 63 bangunan rumah warga yang terdampak yang berpotensi digusur,” ungkapnya.

Baca juga:  Korban Jiwa COVID-19 Tambah Signifikan, Kabupaten Ini Catat 3 Pasien Meninggal

Menurut Krisna proyek yang sedang berjalan maupun yang akan dikerjakan justru diduga tidak sepenuhnya sesuai dengan tata ruang. Namun hal tersebut bisa terkonfirmasi saat revisi tata ruang terbaru, dan diduga jika hal tersebut sebagai bentuk dari pemutihan proyek-proyek yang sedang berjalan atau yang akan dikerjakan.

Semisal saja, pembangunan Jalan Tol Gilimanuk-Mengwi sebagian ada yang melewati hutan yang terkonfirmasi Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) dan hutan Taman Nasional Bali Barat.

“Tentu apabila kita tunduk dengan aturan tata ruang, tentu pembangunan tidak dapat dilakukan pada kawasan ini,” ungkapnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, dan Kawasan Permukiman (PUPRKIM) Provinsi Bali, Nusakti Yasa Wedha menegaskan bahwa perencanaan pembangunan infrastruktur di Provinsi Bali dilaksanakan secara terarah dan sistematis, dengan mengacu pada Visi Pembangunan Daerah serta mempertimbangkan kebutuhan riil masyarakat.

Dalam setiap tahapan perencanaan, Pemerintah Provinsi Bali selalu mengedepankan prinsip kehati-hatian, keberlanjutan, dan inklusivitas, agar pembangunan tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga selaras dengan nilai-nilai budaya dan lingkungan yang menjadi identitas Bali.

Sebagai bagian dari proses perencanaan, dikatakan bahwa studi kelayakan (feasibility study) disusun secara menyeluruh untuk mengkaji berbagai aspek penting.

“Dengan pendekatan tersebut, perencanaan pembangunan infrastruktur di Bali telah disusun berdasarkan pertimbangan yang matang dan menyeluruh, serta telah sesuai dengan kebutuhan masyarakat Bali secara luas, baik dalam konteks peningkatan pelayanan publik, penguatan konektivitas wilayah, maupun dukungan terhadap sektor strategis seperti pariwisata, pertanian, dan industri kreatif,” tegasnya. (Ketut Winata/Citta Maya/balipost

BAGIKAN