Dr. Dra. A.A. Ayu Dewi Larantika, SE.,M.Si. (BP/win)

DENPASAR, BALIPOST.com – Sebanyak 7,3 juta peserta JKN segmen PBI dinonaktifkan sejak Mei 2025 seiring penerapan basis data baru, yaitu Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN) menggantikan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Sekarang dengan DTSEN harus membagi penduduk ke dalam 10 desil berdasarkan pengeluaran per kapita.

Mereka yang masuk ke dalam desil 1, yakni yang memiliki pengeluaran kurang dari Rp500.000 per bulan hingga desil 5 masih memenuhi syarat sebagai penerima bantuan seperti PBI JK dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).

Di Bali, ada puluhan ribu peserta PBI JKN yang dinonaktifkan. Masing-masing kabupaten/kota sedang berupaya melakukan pendataan ulang untuk validasi. Namun, hal ini tentu akan berdampak pada masyarakat yang datanya dinonaktifkan.

Akademisi administrasi publik Universitas Warmadewa (Unwar), Dr. Dra. A.A. Ayu Dewi Larantika, S.E., M.Si., mengatakan, dampak
langsung penonaktifan PBI JKN adalah mereka akan kehilangan akses ke layanan kesehatan. Meskipun dinyatakan dapat diaktifkan kembali kepesertaannya, namun cukup memakan waktu karena harus melalui proses yang cukup panjang dengan syarat tertentu.

Baca juga:  Pariwisata Bali akan Masuki "New Normal"

Seperti, dinonaktifkan pada Mei 2025, terbukti miskin atau hampir miskin, setelah diverifikasi pemerintah daerah/kementerian sosial, dan peserta dalam kondisi darurat medis atau
penyakit kronis yang butuh penanganan segera.

Pengajar di Magister Administrasi Publik Fakultas Pascasarjana dan dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Unwar ini, meminta pemerintah daerah melakukan pemantauan dan tindak lanjut terhadap masyarakat yang dinonaktifkan untuk memastikan agar mereka tetap mendapatkan haknya dalam layanan kesehatan yang dibutuhkan, sesuai dengan kemampuan mereka.

Selanjutnya sejumlah solusi diperlukan, yakni, pertama, pemerintah perlu melakukan sosialisasi dan edukasi tentang perubahan sistem perlindungan sosial dan cara mengakses bantuan yang tersedia. Hal ini menghindari kesimpangsiuran informasi yang meresahkan masyarakat.

Kedua, pemerintah perlu membuka kanal pengaduan yang responsif dan mudah diakses, sehingga masyarakat dapat segera mengajukan keberatan dan mendapat solusi.

Ketiga, pemerintah perlu memastikan bahwa validasi dan verifikasi data dilakukan dengan akurat, terkini dan transparan.

Keempat, pemerintah pusat dan daerah perlu bekerja sama dengan organisasi masyarakat dan LSM untuk memastikan database masyarakat, sehingga masyarakat yang membutuhkan bantuan sosial benar-benar terakomodir dan tidak terlempar dari sistem perlindungan sosial.

Baca juga:  Mutasi Besar-besaran Akhir Tahun, Sejumlah Pejabat Utama Polda Bali Diganti

Kelima, dalam kondisi perekonomian belum sepenuhnya pulih, pemerintah perlu memperkuat sumber daya dan jaminan kesehatan bagi masyarakat yang benar-benar membutuhkan.

Keenam, melakukan pemantauan dan tindak lanjut terhadap masyarakat yang dinonaktifkan untuk memastikan agar mereka tetap mendapatkan haknya dalam layanan kesehatan yang dibutuhkan, sesuai dengan kemampuan mereka.

Ia melihat kebijakan ini pada dasarnya dibuat untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dan meminimalisasi dampak negatif dari kebijakan ketika
diimplementasikan.

“Saya melihat kebijakan ini bagus, agar upaya pemberian bansos sesuai dengan kriteria penerima bantuan iuran (PBI). Karena ditemukan peserta yang tergolong mampu atau sudah ditanggung pihak lain masih sebagai peserta PBI. Begitu sebaliknya masyarakat yang seharusnya tercover dalam kepesertaan PBI, ternyata tidak dimasukkan menjadi peserta,” ujar Dewi.

Oleh karenanya, kebijakan ini perlu dikawal dengan mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi kebijakan dalam penggunaan sumber dayanya, adil dan setara dalam pengalokasian sumber dayanya, dan bagaimana meminimalisasi dampak sosialnya.

Baca juga:  Zona Orange Ini, Tambahkan Kasus COVID-19 Hampir 300 dan Korban Jiwa Terbanyak

Apalagi, sesuai dengan konstitusi bahwa negara menjamin setiap warganya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sebagai hak dasar warga negara. Maka pemerintah harus tetap memberikan warga negaranya hak tersebut. Sehingga apapun kebijakan atau regulasi yang dibuat pemerintah harus menjangkau masyarakat secara keseluruhan.

Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) Ali Ghufron Mukti kepada media mengatakan penonaktifan PBI JKN sesuai Inpres No.4 Tahun 2025 dan
SK Menteri Kesehatan No.80 tahun 2025 tentang peralihan penggunaan basis data dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) ke Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN).

DTSEN membagi masyarakat ke dalam 10 desil berdasarkan kondisi sosial ekonomi. Mereka yang masuk ke dalam desil 1, yakni yang memiliki pengeluaran kurang dari Rp500.000 per bulan hingga desil 5 masih memenuhi syarat sebagai penerima bantuan seperti PBI JK dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Di atas itu, dianggap mampu menjadi peserta JKN mandiri. (Ketut Winata/balipost)

BAGIKAN