
DENPASAR, BALIPOST.com – Di tengah derasnya pembangunan dan keterbatasan ruang di kota-kota besar, tradisi tata ruang warisan leluhur Bali, Kosala Kosali, menghadapi tantangan nyata.
Dikenal sebagai pedoman dalam membangun rumah adat Bali berdasarkan arah suci dan keseimbangan ruang, Kosala Kosali kini tak selalu dapat diterapkan secara utuh, khususnya di wilayah perkotaan seperti Denpasar.
Namun, esensinya masih bisa dijaga, meski tidak dalam bentuk yang sempurna.
Berikut ini lima tantangan utama penerapan Kosala Kosali di perkotaan, sekaligus cara masyarakat tetap menghormatinya:
1. Lahan Semakin Terbatas
Kepadatan kota membuat ukuran dan bentuk tanah sering kali tidak sesuai dengan pakem tradisional. Akibatnya, arah hadap bangunan, pembagian pekarangan (utama, madya, nista), hingga area suci sulit ditata sesuai naskah lontar.
2. Biaya Pembangunan yang Tidak Sedikit
Membangun dengan prinsip Kosala Kosali sering kali membutuhkan biaya lebih, terutama jika melibatkan arsitek tradisional dan bahan bangunan khas Bali. Ini menjadi pertimbangan besar bagi keluarga di kota.
3. Lingkungan Hunian Campuran
Tinggal di kompleks modern, kos-kosan, atau perumahan massal membuat penyesuaian terhadap struktur adat nyaris tidak mungkin. Dalam kondisi ini, masyarakat kerap berkompromi demi kenyamanan dan keterjangkauan.
4. Gaya Hidup dan Desain yang Lebih Praktis
Desain minimalis dan modern kini lebih diminati karena dinilai efisien dan fungsional. Namun, desain ini sering mengesampingkan aspek spiritual dan simbolik yang melekat pada tradisi Kosala Kosali.
5. Menjaga Nilai, Meski Tak Sempurna
Meski tidak utuh diterapkan, masyarakat masih bisa menjaga nilai-nilai dasarnya, seperti:
• Mengarahkan tempat suci ke kaja-kangin
• Menyediakan tempat sembahyang, walau kecil
• Menjaga konsep ruang utama-madya-nista
• Menjaga kesucian pekarangan. (Pande Paron/balipost)