Prof. Ratminingsih. (BP/Istimewa)

Oleh Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A.

Masalah balap liar, miras, konsumsi narkoba, judol, pinjol, tawuran dengan kekerasan, dan bahkan sampai dengan perbuatan sadis pembunuhan merupakan berbagai kasus sosial yang meresahkan masyarakat dilakukan oleh para remaja yang berstatus pelajar.

Dengan berbagai kasus serius tersebut, mereka masuk kriteria “anak nakal.” Kriteria “anak nakal” ini  indikatornya jelas yakni melakukan kegiatan melanggar aturan, yang mengganggu ketertiban dan meresahkan masyarakat, penggunaan barang terlarang, tindakan kekerasan, yang membahayakan kesehatan dan keselamatan diri sendiri serta orang lain.

Berbagai masalah yang dilakukan oleh para remaja tersebut disebabkan oleh berbagai faktor terkait. Pada usia remaja, secara emosional mereka belum stabil, karena berada pada fase peralihan menuju kedewasaan. Anak remaja cenderung masih emosional, mudah marah bila sedikit tersulut oleh hal-hal yang menyinggung perasaannya.

Hal ini sering menyebabkan dendam yang berujung pada kasus perkelahian atau tawuran antar pelajar. Bila hanya berkelahi saja konsekuensinya akan tidak separah mereka menggunakan senjata tajam yang membahayakan keselamatan diri sendiri dan orang lain. Jika sudah sampai berujung pada korban nyawa (pembunuhan), kasus ini sudah termasuk kejahatan.

Baca juga:  MBKM: Postmodernisme Kampus

Faktor lain adalah kurangnya perhatian orangtua. Anak-anak yang berasal dari keluarga broken home, orangtua yang sibuk kerja dan kurang meluangkan waktu dan perhatian kepada putra-putrinya, bisa tumbuh menjadi anak-anak yang cepat putus asa, sedih atau depresi, merasa tidak aman, menarik diri dari pergaulan, yang pelampiasannya bisa ke arah negatif yaitu menggunakan barang haram narkoba yang membahayakan dirinya sendiri dan juga lingkungan sekitar.

Pendidikan khususnya untuk para remaja umumnya memang bukanlah tugas militer semasa mereka di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Mereka yang masih tergolong pelajar menjadi tanggung jawab sekolah dan orangtua dalam memberikan pendidikan.

Di rumah lebih kepada pendidikan nilai-nilai moral (karakter), karena semua orangtua mengajarkan nilai-nilai kebaikan kepada semua anak. Sementara tugas di sekolah lebih kompleks lagi, bukan hanya meningkatkan kecerdasan intelektual, tetapi juga membangun karakter dan keterampilan.

Namun, yang terjadi adalah baik orangtua dan sekolah sudah kurang mampu untuk menghandel mereka yang tegolong “anak nakal” ini. Sehingga diperlukan pihak lain yang lebih berkompeten untuk melakukannya yaitu Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk memberikan pendidikan berbasis militer.

Baca juga:  Makin Menjadi-jadi, Dalam Sebulan Terakhir Segini Jumlah Remaja Diamankan Lakukan Balap Liar di Buleleng

Berdasarkan KBBI, pendidikan berbasis militer artinya proses pendidikan dan pelatihan yang dilakukan oleh Lembaga militer (TNI), yaitu tentara. Adapun tujuannya adalah untuk memberikan pembinaan berupa ketangguhan fisik, pembentukan karakter, dan kepemimpinan.

Untuk sampai pada pendidikan berbasis militer, mereka harus melewati tes kesehatan dan psikologi. Tes kesehatan penting untuk mengetahui kondisi fisik sebelum menjalani latihan fisik, sedangkan tes psikologi diberikan untuk memahami faktor internal yang memicu perilaku khusus yang dilakukan oleh mereka. Hasil kedua tes tersebut  menjadi dasar untuk memberikan pendidikan dan pelatihan yang tepat.

Pelatihan ketangguhan fisik seperti baris berbaris dan olah raga bertujuan untuk menjadikan mereka generasi yang tangguh dan dapat menyalurkan kemampuan berkelahi secara positif melalui pengembangan kesadaran bela negara. Kedisiplinan adalah salah satu karakter yang dibentuk melalui membangun keteraturan dan tanggung jawab.

Misalnya bangun tepat waktu dan mengerjakan kegiatan atau tugas dengan penuh tanggung jawab sesuai dengan alokasi waktu. Kepemimpinan diajarkan melalui tindakan yang mampu memimpin diri sendiri dan orang lain. Anak yang mampu memimpin harus menjadi teladan bagi temannya dan mampu menggerakkan orang lain.

Baca juga:  Negara dan G20

Pendidikan berbasis militer dilakukan dalam waktu singkat yaitu antara 2 minggu sampai dengan 3 bulan. Setelahnya, mereka akan dikembalikan kepada orangtua dan kemudian melanjutkan pendidikan normal di sekolah.

Pendidikan berbasis militer yang mengambil nilai-niai positif dari dunia militer akan sangat tepat bila diintegrasikan dengan pendekatan humanis, yaitu pendekatan yang mengutamakan memanusiakan manusia, artinya pembinaan dan pelatihan yang dilakukan lebih menekankan pada pembentukan kesadaran diri untuk menjadi lebih baik, tanpa ada pelatihan yang mengajarkan kemiliteran dengan mengenakan pakaian seragam tentara dan memanggul senjata.

Pendidikan berbasis militer berbeda dengan militerisasi. Militerisasi merupakan proses pendidikan yang mengajarkan pola pikir dan budaya militer dalam semua aspek kehidupan. Sasarannya, masyarakat luas, yang bersifat jangka panjang, yang bertujuan untuk mengubah bukan hanya cara pandang melainkan juga cara bertindak yang menyerupai militer.

Dapat disimpulkan bahwa pendidikan berbasis militer berbeda dengan militerisasi. Pendidikan berbasis militer terbatas dari segi waktu dan dilakukan untuk anak-anak yang bermasalah dengan indikator yang jelas, sedangkan militerisasi memfokuskan pada idealisme militan, yang menjadikannya bagian hidup.

Penulis, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha

BAGIKAN