
MANGUPURA, BALIPOST.com – Sidang Peninjauan Kembali (PK) atas vonis empat tahun Bendesa Adat Berawa, terpidana I Ketut Riana, Kamis (8/5), kembali dilanjutkan di PN Denpasar.
Antara pemohon melalui kuasa hukumnya, I Nyoman Widayana Rahayu, dkk, dari Berdikari Law Office, dengan JPU Nengah Astawa dkk., selaku termohon sudah menyampaikan argumen masing-masing di hadapan hakim PK di PN Denpasar.
Nyoman Widayana dkk., menilai adanya kehilafan hakim dan juga penyampaikan keterangan ahli. Disebut, dari keterangan ahli, Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, ada dugaan kekhilafan hakim dalam menerapkan Pasal 12 huruf e UU Tipikor. Yaitu dengan mengkonstruksikan posisi bendesa adat sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara. Hal ini disebut bertentangan dengan asas legalitas dalam hukum pidana yang melarang penggunaan analogi (lex stricta) untuk memperluas cakupan subjek hukum pidana.
Sedangkan status hukum bendesa adat ASN atau penyelenggara negara, melainkan pemimpin lembaga adat yang dipilih dalam paruman desa adat dan ditetapkan oleh Majelis Desa Adat (MDA). Sehingga dinilai apa yang menjerat Ketut Riana disebut tidak memenuhi unsur subjek hukum dalam rumusan Pasal 12 huruf e UU Tipikor.
Atas dasar itu, adanya kekeliruan hakim menyamakan jabatan adat dengan ASN/penyelenggara negara hanya karena adanya insentif atau honorarium dari APBD.
Lanjutnya, menafsirkan subjek hukum dalam UU Tipikor secara meluas, padahal harus dibatasi secara ketat menurut asas lex scripta, lex certa, lex stricta, dan lex praevia.
Konsekuensi hukum, putusan hakim menciptakan error in persona, karena memidana seseorang yang secara hukum bukan merupakan subjek hukum yang diatur dalam pasal tersebut.
Toh jika terpidana melakukan perbuatan PMH, maka menurutnya, perbuatan I Ketut Riana lebih tepat dikualifikasikan sebagai tindak pidana umum. Sehingga dalam kesimpulan ahli, disebut telah terjadi kekhilafan hakim dalam menerapkan hukum.
Bendesa adat bukan pegawai negeri atau penyelenggara negara dan penerapan Pasal 12 huruf e UU Tipikor dalam putusan terhadap I Ketut Riana tidak sah dan bertentangan dengan asas legalitas.
Ahli Dr. Kadek Wirahyuni, S.Pd., M.Pd, secara linguistik salah satunya dengan pendekatan lingusitik forensik bahwa insentif atau honorarium yang diterima bendesa adat bukan merupakan gaji dalam arti hukum, dan tidak menjadikannya sebagai pegawai negeri.
Gaji merupakan pembayaran tetap, periodik (bulanan), berdasarkan kontrak kerja tetap. Honorarium merupakan penghargaan atas jasa tidak tetap, insidental, tidak dibayar rutin. Insentif merupakan tambahan di luar gaji, diberikan karena prestasi/kinerja lebih, sifatnya motivasional.
Kesimpulanya, honorarium, insentif, uang jasa, uang kehormatan merupakan jenis pendapatan, tetapi bukan gaji dalam pengertian legal formal.
I Nyoman Widayana Rahayu, menyatakan, dalam PK ini, pihaknya menghadirkan ahli hukum pidana, ahli hukum tata negara, dan ahli bahasa.
Nyoman Widayana menyampaikan bahwa dalam putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, pihaknya menemukan beberapa hal yang tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim. Salah satunya adagium hukum ignorantia judicis est calanaitax innocentis yang berarti bahwa ketidaktahuan hakim merupakan kerugian bagi pihak yang tidak bersalah. “Ini jelas adanya kekhilafan hakim yang nyata dalam putusan tersebut,” sebut dia di PN Denpasar.
Dilanjutkan, PK ini dilakukan untuk mencari keadilan yang sejati, khususnya dalam upaya melindungi eksistensi lembaga desa adat yang telah diakui secara konstitusional.
Termohon PK melalui JPU Nengah Astawa dkk, menjawab dalil pemohon. Keberatan yang dilakukan pemohon (Ketut Riana) dinilai suatu pengulangan keberatan yang telah disampaikan oleh terdakwa melalui penasihat hukumnya dalam pledoi yang disampaikan di Pengadilan Tipikor Denpasar. Dan nota pledoi telah dipertimbangkan judex facti dan telah dinyatakan ditolak.
Soal bendesa sebagai pegawai negeri yang dijadikan alasan pemohom PK, disebut alasan yang tidak berdasar karena alasan tersebut bukanlah keadaan yang baru melainkan keadaan yang sudah dikemukakan dalam persidangan tingkat pertama.
JPU menilai terpidana seharusnya mengajukan upaya hukum banding atas putusan judex facti apabila tidak puas dan ada kesalahan atau ketidakadilan dalam pertimbangan judex facti terkait dengan pembuktian unsur-unsur pasal yang didakwakan kepada terdakwa (Pemohon PK).
“Namun langkah tersebut tidak ditempuh oleh Pemohon PK sehingga putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi mempunyai kekuatan hukum tetap,” jelasnya.
Terkait kehilafan hakim, menurut JPU selaku termohon PK, menyampaikan bahwa tidak ada kehilafan hakim, apalagi saat putusan terdakwa menerima atas semua pertimbangan hakim yang dibacakan saat putusan di Pengadilan Tipikor. (Miasa/Balipost)