Prof. Rumawan Salain. (BP/Istimewa)

Oleh Prof. Rumawan Salain

Sidang Kabinet Paripurna pada 21 Maret 2025 lalu menyampaikan sesuatu hal yang menarik, yaitu tentang dibangun atau diadakannya Sekolah Rakyat. Jumlahnya bukan main-main. Di mana, 200 buah sekolah rakyat lengkap dengan asrama di tahun 2025 ini. Konsepnya identik dengan boarding school di luar negeri.

Sekolah Rakyat ini diharapkan tersebar di setiap kabupaten ada satu dengan target siswa 1.000 orang di masing-masing sekolah. Sasarannya adalah siswa miskin dengan harapan kelak mampu mengikis “menghapus” kemiskinan.

Pemerintah menargetkan dalam 3 bulan setelah ditetapkan setidaknya 53 sekolah akan diresmikan, sisanya ditagetkan selesai di tahun 2025 ini. 53 sekolah dimaksud telah disiapkan oleh Kementrian Sosial. Sekolah rakyat dimaksud tersedia dalam strata SD, SMP, dan SMA.

 

Keputusan tersebut merupakan angin segar dan sangat membantu siswa miskin atau anak miskin untuk memperoleh pendidikan seperti yang tercantum dalam Undang Undang Sisdiknas tentang kemudahan dan pemerataan kesempatan mengenyam pendidikan. Sekolah Rakyat yang ditujukan bagi siswa miskin, di mana di sekolah tersebut disediakan asrama boarding school, sangat tepat, mirip dengan Sekolah Taruna Nusantara yang pernah berlangsung di Singaraja ataupun yang di Magelang.

Baca juga:  Gerakan Bali Menabung Air

Membangun Sekolah Rakyat berasrama dari tingkat SD – SMA, tentu membutuhkan kekhususan, seperti pengawasan terhadap anak didik dan lainnya. Apabila setiap kabupaten ada satu  Sekolah Rakyat dan yang dibangun rencananya 200 buah, maka akan ada 216 kabupaten yang tidak kebagian ditambah lagi dengan 98 buah kota (ataukah kota dianggap tidak memilki anak miskin?).

Belum diketahui apakah kabupaten mana saja di Bali yang akan kebagian Sekolah Rakyat. Walaupun angka kemiskinan menurut angka statistik masih ada. Akibat dari kebijakan adanya Sekolah Rakyat anggaran pembangunan tentu kian membengkak untuk keperluan pembelian lahan, pembangunan gedung dengan infrastrukturnya, termasuk pengadaan tendik pegawai, buku ajar, gaji, dan lainnya.

Baca juga:  Keberlanjutan Tradisi Bali

Jumlah siswa 1.000 tiap sekolah dipandang terlalu ambisius dan tidak menggunakan data yang baik dan benar. Jika setiap strata ada siswa 4 kelas dengan rata-rata 30 siswa, maka total siswa ada sejumlah 360.

Wacana yang menyatakan bahwa pendidikan mampu mengikis kemiskinan dapat dipahami. Namun sejatinya masalah kemiskinan adalah sangat berhubungan dengan dunia kerja, kesehatan, dan lainnya. Dikhawatir akan terjadi pengangguran terdidik yang bermuara pada kemiskinan statis.

Jika anak setingkat SD, SMP, SMA, membutuhkan waktu 12 tahun untuk waktu studi, maka pemerintah menunggu 12 tahun untuk bisa bekerja dan mandiri dengan catatan bila dunia kerjanya ada dan sesuai, mengingat terjadi perubahan yang sangat cepat.

Apabila yang tingkat SMA butuh waktu 3 tahun, maka Presiden Prabowo akan melihat produknya apakah 100% terserap di lapangan kerja atau lainnya.

Dari catatan tersebut, tampaknya dapat disimpulkan bahwa Sekolah Rakyat tidak perlu tergesa-gesa tanpa data akurat tentang batasan kemiskinan dan kabupaten/kota mana saja yang dikategorikan miskin. Selanjutnya adalah bahwa belum dapat dinyatakan bahwa pendidikan akan berakibat langsung terhadap kemiskinan, karena di era kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan ini dunia kerja tidak mampu menerima mereka. Akibatnya akan terjadi pengangguran terdidik.

Baca juga:  I Wayan Wesna Astara Dikukuhkan Jadi Guru Besar Ilmu Hukum Unwar

Disarankan agar wajib belajar 9 dan 12 tahun di intensifkan, sehingga tidak perlu lagi bangun sekolah. Di daerah-daerah terpencil dapat dilangsungkan proses belajar mengajar melalui radio atau meniru konsep Universitas Terbuka. Kemensos jika dananya memadai dapat disalurkan sebagai beasiswa ataupun pondokan siswa diborang tua asuh.  Ada dampak psikologis bagi anak-anak miskin yang bersekolah di Sekolah Rakyat. Mari kita duduk bersama memikirkan pendidikan bangsa ini ke depan melalui blue print yang berkesinambungan, beridentitas, terintegrasi, dengan mengedepankan moral, etika dan kejujuran.

Penulis, Guru Besar Universitas Warmadewa

BAGIKAN