I Gusti Agung Ketut Kartika Jaya Seputra. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Orang Bali tentu sudah tidak asing dengan kalimat “eda ngaden awak bisa” atau kata “maboya”. Kearifan lokal ini belakangan lebih gencar didengungkan setelah munculnya pandemi Covid-19.

Mengingat, masih ada masyarakat yang enggan menerapkan protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran wabah. “Eda ngaden awak bisa, artinya kita harus bijaksana. Jadi, segala sesuatunya jangan mamuuk, maboya,” ujar Kepala Dinas Pemajuan Masyarakat Adat Provinsi Bali, I Gusti Agung Ketut Kartika Jaya Seputra kepada Bali Post, Selasa (3/11).

Selain itu, lanjut Kartika, ada pula salunglung sabayantaka dan bergotong royong. Semua kearifan lokal tersebut selalu dibangkitkan pada saat melakukan pertemuan dengan Majelis Desa Adat di kecamatan dan kabupaten/kota, serta para bendesa adat.

Baca juga:  Kasus Kematian COVID-19, Brazil Tertinggi Kedua di Dunia

Di samping mendidik, kearifan lokal Bali juga mengandung nilai budi pekerti dan etika dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. “Kami terus melakukan ini bersama-sama dengan MDA Provinsi pengelingsir kami. Jadi, segala sesuatunya menyangkut kearifan lokal yang memang itu warisan leluhur, tetua kita di masa lalu itu luar biasa,” paparnya.

Selaku Koordinator Perubahan Perilaku dalam Satgas Penanganan Covid-19 Provinsi Bali, Kartika berharap masyarakat dapat menjadikan pandemi sebagai momen untuk merubah perilaku. Paling tidak, perubahan perilaku menyesuaikan dengan masa pandemi ini bisa menekan penyebaran virus corona.

Baca juga:  Belum Pasti, Pengoperasian Kapal "Jumbo" untuk Urai Antrean Mudik Lebaran di Gilimanuk

Yakni dengan disiplin menerapkan protokol kesehatan 3M (memakai masker, mencuci tangan serta menjaga jarak dan menghindari kerumunan). “Kita juga berharap krama desa adat dengan pandemi ini mulai timbul suatu kesadaran kolektif untuk mau mematuhi protokol kesehatan,” terangnya.

Terlebih sekarang, lanjut Kartika, krama di desa adat sudah mulai “Nangun Karya” seperti menggelar upacara manusa yadnya. Diantaranya pawiwahan, potong gigi dan lainnya. Pihaknya tidak melarang masyarakat untuk melaksanakan upacara-upacara tersebut. “Namun kita imbau bahwa ini adalah pandemi. Masa pandemi, perilaku harus diubah, tetap harus menerapkan protokol kesehatan. Itu yang dimaksud perubahan perilaku,” jelasnya.

Baca juga:  Masih 2 Digit, Tambahan Warga Bali Terjangkit COVID-19 Lebih Rendah dari Sehari Sebelumnya

Kartika meyakini, pandemi akan dapat dikendalikan jika sudah muncul kesadaran kolektif dari krama desa adat. Oleh karena itu, perubahan perilaku salah satunya diupayakan dengan membangkitkan dan mengingatkan lagi kearifan lokal yang ada di Bali. (Rindra Devita/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *