Ilustrasi. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Fenomena hujan es dapat terjadi pada masa peralihan seperti saat ini. Hal ini dikarenakan udara lembab yang terangkat akibat pemanasan udara yang tinggi dekat permukaan akan naik hingga mengalami kondensasi. Demikian dijelaskan I Wayan Wirata, selaku prakirawan BMKG wilayah III Denpasar.

Ia menjelaskan karena pengangkatan udara sangat kuat, maka butir-butir air terus naik sehingga berubah fase menjadi es. Sejalan dengan menurunnya suhu terhadap ketinggian.

Baca juga:  Demo Lagi, Supir Taksi Tuntut Pemblokiran Grab dan Uber

Saat banyaknya butiran es yang terangkat, akan terjadi dua hal, yaitu coalition (penggabungan) dan collision (benturan). “Pada coalition, maka butiran-butiran es tersebut bergabung sehingga volumenya menjadi lebih berat. Saat volumenya semakin berat, sesuai hukum gravitasi kecepatan jatuhnya akan lebih tinggi,” jelasnya.

Sehingga, lanjut Wirata, saat jatuh ke permukaan, materinya tidak habis menguap tetapi jatuh sebagai hujan lebat dan butiran es (hail stone). “Hujan es merupakan fenomena normal terjadi di wilayah Tropis, yang terjadi pada musim pancaroba. Hujan es ini disebabkan oleh awan jenis cumulonimbus (awan hitam pekat),” sebutnya.

Baca juga:  Dari Polda Bali Amankan Puluhan ABG hingga Kabupaten Ini Terbanyak Sumbang Korban Jiwa COVID-19

Bila batu es yang jatuh dan sebelum mencapai permukaan tanah semuanya mencair, air hujan cenderung terasa dingin. Diungkapkannya Awan Cb yang menyebabkan hujan es biasanya memiliki luasan yang tidak terlalu luas sehingga hujan es biasanya terjadi secara lokal dan susah untuk diprediksi kapan akan terjadi. Tetapi secara umum potensinya terjadi masa musim peralihan. (Winatha/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *