Capres nomor urut 01 Joko Widodo (kiri) berjalan bersama capres no urut 02 Prabowo Subianto sebelum mengikuti Debat Pertama Capres & Cawapres 2019, di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (17/1). (BP/ant)

Oleh Ketut Mulya

Debat keempat calon presiden Indonesia sudah selesai. Dengan demikian, rangkaian debat dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakilnya  tinggal satu putaran lagi, kemudian tingggal menunggu waktu pemilihan tanggal 17 april mendatang. Mengandalkan pilihan suara hanya berdasarkan debat televisi, nampaknya mustahil di Indonesia.

Tidak semua anggota masyarakat memahami dan mengerti apa yang dimaksudkan dengan segala tujuan dan misi dalam perburuan jabatan presiden itu. Tim sukses, karisma, partai politik, ideologi, dan nilai sangat memengaruhi pilihan itu. Akan tetapi, debat televisi tetap mempunyai pengaruh terutama bagi pemilih terdidik. Pemilih ini lumayan besar juga di Indonesia.

Masyarakat terdidik Indonesia perlu disadarkan dengan cara memberikan penjelasan secara ringkas tetapi dapat dipercaya. Penjelasan di televisi merupakan cara yang paling baik untuk memberikan penjelasan ringkas dan percaya ini. Keringkasan tersebut dapat dilakukan dengan menampilkan data yang benar.

Tampilan data ini akan sekaligus memberikan kepercayaan kepada pemilih. Faktor lain yang ikut memberikan tambahan kepercayaan itu adalah sikap saat tampil, yang meliputi cara berbicara, mimik, intonasi suara, sampai dengan bahasa tubuh. Pemilih yang berasal dari masyarakat terdidik ini cenderung kritis bukan saja terhadap calon presiden tetapi juga terhadap kemanfaatan pemilu di Indonesia.

Dalam debat di televisi, mimik dan gaya bahasa termasuk intonasi di dalamnya sangatlah memegang peran penting. Melalui mimik dan gaya itulah, masyarakaf akan menafsirkan apa sesungguhnya yang terkandung di dalam benak dari calon presiden. Di situ juga ada kesungguhan yang terlihat oleh masyarakat, termasuk juga keragu-raguan dalam memilih.

Masyarakat yang mempunyai pendidikan rendah akan dengan lebih yakin dalam menjatuhkan pilihannya manakala melihat mimik dan gaya bahasa yang ditampilkan oleh calon presiden. Televisi yang menampilkan debat calon presiden boleh dikatakan sebagai sebagian realitas yang ada terhadap kedirian dari calon tersebut. Dengan demikian, maka bahasa dan gerak tubuh kontestan haruslah dijaga.

Baca juga:  Memaknai Hari Cinta Kasih

Pada konteks itulah, maka penampilan dari masing-masing pasangan dalam debat dapat dinilai atau paling tidak dapat dikomentari. Ini merupakan hal yang sangat wajar bagi seorang calon presiden. Debat dalam hal ini yang keempat seharusnya merupakan akumulasi usaha kritisi diri penampilan sebelumnya. Baik dari penguasaan materi, penampilan dan gaya tubuh seharusnya merupakan yang terbaik pada debat tersebut.

Dari titik ini dapat dikatakan bahwa kedua kandidat mampu memperbaiki kualitas mereka. Paling tidak, dari kualitas menjelaskan dan mengadu argumentasi terhadap pendapat yang mereka kemukakan. Misalnya bahwa keamanan Indonesia dari infiltrasi asing 20 tahun mendatang.

Joko Widodo sebagai calon presiden mengatakaan bahwa dari laporan yang dikemukakan oleh intelijennya disebutkan bahwa dalam waktu 20 tahun nanti Indonesia aman dari gangguan asing. Akan tetapi, Prabowo Subianto menolak hal tersebut. Paling tidak telah ada perlawanan dari kompetitornya.

Akan tetapi, di samping kemajuan tersebut terdapat juga hal yang harus diperbaiki. Intonasi suara dan gaya berbicara masih kurang dapat diperbaiki. Masih ada kesan datar pada Joko Widodo dan agak meledak pada Prabowo Subianto. Memang intonasi suara ini merupakan pembawaan dari masing- masing kandidat, akan tetapi juga harus diketahui bahwa untuk kepentingan meyakinkan pemirsa dan pemilih, demi tujuan politik, intonasi itu dapat diperbaiki.

Secara psikologis, kemampuan untuk mengatasi atau mengubah intonasi suara merupakan bagian dari kerja keras kandidat untuk mengatasi persoalan dirinya. Mengubah dan mengingatkan diri untuk berubah, merupakan tantangan terbesar bagi kandidat. Keberhasilan memerintah diri sendiri ini akan menjadi faktor penambah kesuksesan dalam memimpin pemerintahan. Pada debat keempat yang baru lalu, kandidat presiden nomor 02 sempat mengingatkan penonton yang tertawa dan mengaitkannya dengan kondisi pertahanan Indonesia.

Baca juga:  Kesejahteraan Publik dan Kualitas Demokrasi

Hal yang juga perlu dicatat dalam debat keempat adalah tingkat perhatian masyarakat. Pada titik ini, masyarakat telah terbiasa dengan acara tersebut. Ini tentu saja dipengaruhi oleh debat-debat televisi, baik calon gubernur, bupati maupun wali kota serta debat calon presiden yang sudah dimulai delapan tahun yang lalu. Masyarakat tidak demikian tegang ataupun antusias dalam menyambut acara debat ini.

Artinya, mereka dapat memosisikan diri di tengah dan posisi ini penting untuk membantu sikap rasionalnya. Mereka memosisikan debat ini sebagai tambahan informasi untuk menjatuhkan pilihan.

Pembiasaan ini penting karena jika mereka terlalu berharap dan memihak pada debat, akan dapat menimbulkan kekecewaan apabila kontestannya mengecewakan saat tampil. Kondisi ini dapat membuat mereka frustrasi. Sebaliknya, kalau terlalu tak acuh pada debat juga berbahaya karena menjadi cerminan tak acuh juga kepada pemilu. Buntutnya adalah tidak memilih.

Tentu saja tidak memilih merupakan sikap yang merugikan bagi pemilu itu sendiri. Atau, mereka dapat saja memilih secara ngawur. Ini juga berbahaya karena kualitas pemilu menjadi jeblok. Dengan demikian, keberadaan mereka memosisikan diri di tengah-tengah memungkinkan mereka memanfaatkan segala informasi dalam debat televisi ini sebagai tambahan pengetahuan sehingga nanti dapat menambah wawasan sebelum memutuskan untuk mencoblos nanti. Sekali lagi harus dikatakan bahwa calon presiden dan juga calon wakil presiden harus melakukan latihan dalam mempersiapkan diri agar informasi tambahan itu menjadi benar-benar berguna bagi masyarakat di dalam pemilu.

Fenomena yang memprihatinkan pada debat terakhir (keempat) ini adalah ulah para pendukung kandidat. Mereka masih berteriak-teriak memalukan saat jeda jawaban, sampai berkali-kali harus diingatkan oleh moderator. Padahal, debat ini sudah berlangsung empat kali, dan sudah berkali-kali diingatkan sejak debat pertama.

Pada debat keempat ini sudah juga disebutkan, dibacakan, dan ditayangkan bagaimana ketentuan dan aturan yang harus dipatuhi selama debat berlangsung. Aturan itu tidak saja bagi kontestan tetapi juga bagi penonton. Namun toh juga  penonton tidak mampu mematuhi aturan tersebut.

Baca juga:  Indonesia Darurat Kenegarawanan

Ini memperlihatkan bahwa mereka itu tidak tahu etika sebagai pendukung kandidat. Kita khawatir jangan-jangan mereka itu mewakili masyarakat pendukung politik secara keseluruhan. Jika ini terjadi, maka berbahaya bagi masa depan Indonesia karena ketertiban politik tidak dapat dikendalikan.

Padahal, syarat utama bagi stabilitas sosial masyarakat adalah adanya kemampuan masyarakat pendukung politik ini untuk mengendalikan diri. Mereka menjadi salah satu aktor yang menentukan stabil atau tidaknya kelangsungan pemilu. Fanatisme yang dibawa sampai ke ruang debat, jelas bukan merupakan sikap yang baik. Seharusnya, siapa pun yang terpilih sebagai simpatisan yang dapat masuk sampai areal debat, sudah harus memahami etika publik dan etika masyarakat.

Mereka adalah orang terpilih untuk masuk menuju ring satu dalam perdebatan ini. Debat televisi jelas merupakan ruang publik, apalagi disiarkan secara langsung. Jutaan orang menonton dengan karakter yang beragam. Karena itu, harus tahu etika budaya atau nilai yang dipakai oleh orang banyak.

Di Indonesia adalah sopan santun dan tertib, mematuhi aturan. Nilai budaya Indonesia dalam hal ini adalah tanpo ngasorake, tata tentrem. Artinya, tidak membikin pihak lain tertekan, dan tertib. Itulah yang tidak dapat ditaati oleh para penonton dan penggembira para kandidat. Dan ini masih terjadi pada debat putaran keempat. Sangat memprihatinkan sikap seperti ini.

Karena itu, harus diapresiasi sikap yang dikeluarkan KPU bahwa akan mengeluarkan para pendukung berandal ini dari ruangan apabila tetap berperilaku demikian pada putaran kelima nanti. Ini penting untuk menertibkan mereka dan agar ketertiban itu menjadi contoh ke seluruh Indonesia pada ajang apa pun.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *